Pertama, secara umum, kunjungan itu disimplifikasi. Kunjungan seorang sahabat. Dalam senang dan susah adalah sahabat sejati. Tak ada sahabat sejati yg meninggalkan temannya kala sang teman menderita. Sejumlah esai telah dilahirkan tentang persahabatan ini, sejak kitab suci, Ancient History, hingga Laskar Pelangi. Tapi yang terindah bagi saya adalah novel
"1984" yang ditulis George Orwell. Bagaimana masyarakat miskin dan tertindas saling bahu menbahu menghadapi perang saudara Mexico. Untuk reason ini, saya salut kepada Jusuf Kalla. Ia punya hati yang tidak khianat, persahabatan yang sejati. Agaknya itulah salah satu kebajikan yang akan membelanya nanti di alam malakut.
Kedua, dari paradigma politik. Seingat saya, JK selaku Wapres kurun 2004 - 2009, tak pernah mengunjungi tersangka korupsi selaku Wapres. Kebetulan pada periode itu, saya anggota Komisi III DPR-RI. JK tak mengunjungi Gubernur Aceh Abdullah Puteh yang dicokok KPK, walau Puteh juga HMI dan menjadi orang penting dalam rangka
case fire dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Sudi Silalahi, Sesmenko Polkam beranggapan Puteh terlalu dekat dengan GAM. Karenanya, jika JK menjenguk Puteh, segera ditafsirkan sebagai melawan kebijakan pemerintah yg dipimpin JK sendiri.
Lasswell, idiom ini sangat terkenal di kalangan FISIP. "Who says, and with what effect". Siapa yang bicara, dan apa dampaknya. Idiom ini adalah sebuah dalil yang dibuat oleh Harold D Lasswell untuk membantu memahami komunikasi politik. Jika JK menjenguk Irman Gusman, muncul efek JK dalam kasus Irman. Saya menafsirkan pesan JK efek dari kunjungan itu, tidak setuju atas pencokokan Irman oleh KPK. Dalam hal ini, Wapres memihak Irman.
Mestinya hal itu menjadi tamparan bagi KPK. Dua tahun lalu, JK juga sudah membaui ketidakberesan KPK. Katanya, "KPK bisa berkembang menjadi mafia".
Masalah.kini menjadi paradoksal. Sementara Presiden Jokowi memihak KPK, sementara pula JK mengkritik KPK. Ada apa dengan rezim ini? Nyaris semua pernyataan Presiden melemahkan hukum.
Terakhir untuk
tax amnesty, Presiden mengumpulkan seluruh Kapolda dan Kejati se indonesia hanya untuk mem-
briefing bahwa kebijakan
tax amnesty adalah diskresi. Dan diskresi tak bisa dikriminalisasi.
Briefing ini dihadiri Ketua KPK, Kapolri, dan Jaksa Agung.
Tentu saja subtansi
briefing itu tak benar menurut hukum. Apalagi pada saat yg sama diumumkan 4 bank persepsi yg kebal hukum. Belakangan Ketua KPK, Jampidsus, dan Kapolri menyatakan ada indikasi korupsi setelah otoritas hukum Singapore mengancam nasabah WNI di bank Singapura bila mengalihkan dananya ke Indonesia.
Yang saya ingin kemukakan bahwa Wajib Pajak (WP) yang menjadi target adalah dana
back office (korupsi, narkoba,
human trafficking, dana revolusi, senjata, perjudian, dst). Tahun 2014, Presiden telah menyatakan dana di Singapura itu hasil kriminal dan akan diampuni jika membayar 2,5 persen. Praktis sama sekali tak ada kontrol. Apa masih
Checks and Balances?
Ketiga secara perspektif UU KPK. Irman jelas salah menerima pemberian yang melawan sumpah jabatan. Dan KPK adalah polisi sumpah jabatan. Cukup jelas posisinya. Tak lantas operasi tangkap tangan oleh KPK itu benar. Di situ posisi pesan komunikasi anjangsana JK ke penjara Guntur.
UU No 30 Tahun 2002 Pasal 11 butir C menyatakan yang menjadi sasaran operasi KPK nilai korupsi di atas Rp 1 miliar. Terjadi paradoks. Sebab, untuk jumlah rasuah parsel pun ditangani KPK walau tak satu pun yang lanjut ke hukum, padahal KPK tak punya SP3.
Menurut
memorie van toelichting UU KPK itu, yang menjadi tugas utamanya adalah Pasal 11 C itu. Saya juga lebih condong ke situ. Secara teknik yuridis juga tak mungkin memilah mana rasuah mana korupsi dalam operasi OTT. Kecuali OTT yang didahului Target Operasi (TO) seperti pada Irman Gusman selama tiga bulan sebelum
law action.Firman Widjaya, seorang
lawyer; memberikan istilah teknik yuridis yang digunakan oleh KPK dalam kasus Irman. Yaitu,
trapment operation. Asal kata
to trap, penjebakan.
Menurut hukum pidana, teknik ini hanya boleh digunakan untuk kejahatan yang mengancam jiwa, seperti narkoba, terorisme, dst. Itu batasannya. Sebab, trapment mengandung unfairness (tidak adil). Dan di
unfairness itu dipastikan terdapat
mens rea (niat jahat). Karena sudah 3 bulan di TO, KPK sudah tahu jumlah uang rampasan, mustahil lebih dari Rp 1 miliar. Tentu saja, yang ditangkap adalah direktur Comanditer Venootscaff (CV).
Mens Rea-nya pisau teknik yuridis itu tak diarahkan kepada Seven Samurai, para mafioso gula yang menjadi rahasia umum.
Acuan pasal 11 C itu aktif sesuai dengan biaya kasus yg ditangani KPK yang 23 kali lipat lebih mahal dibanding biaya kasus yang ditangani kepolisian. Tapi dalam setengah tahun terakhir, terjadi gradasi penurunan tangkapan KPK secara konsisten dari Rp 300-an juta, 200-an juta, dan 100 juta pada kasus Irman. Ini sudah melanggar Pasal 11 C itu.
Namun jika dipandang dari rasuah yang tanpa limit, lebih gawat lagi. KPK bisa menangkap ratusan orang yang menyuap Polantas tiap hari di jalanan. Sedang untuk PNS sudah ditangani Penyidik Sipil menggunakan UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
KPK itu dulu dibuat analoginya adalah pasukan elit. Ia diberikan hak supervisi atas kepolisian dan kejaksaan dengan jenis UU: bertanggung jawab kepada UU dan melapor kepada UU. KPK tak.memiliki bos, yaitu lembaga
superbody. Luar biasa. Semua telah diberikan kepada KPK.
Tapi KPK gagal menjadi pasukan elit. Ia bahkan belum pernah menangani kasus
rechtvinding (temuan hukum). Seluruhnya OTT, mengandalkan kinerja mesin sadap. Ironis. Belakangan KPK bikin
agreement dengan kepolisian dan kejaksaan: "yang menangani suatu perkara adalah yang lebih dulu melakukan
law action". Otomatis melenyapkan fungsi supervisinya.
Jika hak supervisi itu dinegasikan, tak ada bedanya KPK dengan Polsek. Polsek dikasih hak sadap niscaya lebih efektif dan efisien karena Polsek memiliki Pasukan Gerak Cepat dan ada di mana-mana. Kemarin saya baca di
Vivanews, Ketua KPK menarik pernyataannya yang akan menggarap korupsi impor dari Singapura yang Rp 800 miliar. "Itu cuma
warning agar tak dilakukan lagi oleh BUMN," ujar Ketua KPK.
Selain direktur BUMN iru, KPK akan menangkap kasus
fee 5 juta USD kereta api cepat. Kasus itu terungkap setelah penyuapnya ditangkap hukum karena korupsi di Tiongkok. KPK juga menyatakan akan masuk ke kejahatan harta kekayaan, dan banyak lagi akan. Tak ada yang terbukti. Semua
omdo. Bahkan kasus RS Sumber Waras yang terang benderang, yang malah buktinya sudah disediakan BPK laksana pisang bakubak, KPK malah kerepotan mencari
mens rea.Baru kemarin saya paham, ternyata komisioner KPK tak punya nyali.
Parno istilah para
junkies. Mengapa orang-orang ini nyasar ke KPK. Mencari selamat masuk KPK.
Aya aya wae.Minta Hak ImunitasKPK minta hak imunitas, (kekebalan). Permintaan itu membenarkan KPK parno.
Tapi saya tak.yakin KPK paham apa yang dimintanya. Hak imunitas hanya dimiliki oleh DPR diatur oleh UU MD3. Hak itu tak berlaku untuk kasus korupsi, terorisme, narkoba, dan kejahatan tertangkap tangan. Juga tak berlaku terhadap gugatan perbuatan melawan hukum.
Hak imunitas itu pernah dipakai oleh Presiden SBY ketika ia menerbitkan izin kepada Bareskrim Polri untuk memeriksa saya atas permohonan Alamsyah & Parrner, kuasa hukum Sukanto Tanoto. Saya ajak
lawyer Hendra berkelahi ketika ia mengganggu konferemsi pers yang saya
adakan sehubungan pengemplangan Rp 3,4 triliun kredit macet Raja Garuda Mas di Bank Mandiri yang kemudian mengantarkan ECW Neloe, Dirut Bank Mandiri ke penjara.
Itu hak imunitas. Polri tak bisa langsung menangkap saya dan harus izin presiden. Tapi tak berlaku untuk PMH. OC Kaligis menggugat saya di PN Jakarta Selatan selaku kuasa hukum Indra, Dirwasdakim Depkumham. OC memungut pernyataan saya di media massa dan
hearing Komisi III, lalu didaftarkan. Perkara ini saya menangkan hingga
inkraht.Jadi hak imunitas yang mana yang diminta KPK itu? Jika komisioner KPK ditersangkakan oleh kepolisian atau kejaksaan, UU KPK memberhentikan yang bersangkutan. Saran saya, yang punya kasus pidana, hendaknya mengundurkan diri saja. Tak ada yang mampu melindungi komisioner KPK dari hukum acaranya sendiri. Bahkan hak imunitas itu sendiri jika ada. Sebab, KPK itu sendiri adalah kekuasaan. Kalau ada yang tak adil pada UU itu ajukan ke MK. Jika tidak, ajukan ke DPR supaya diamandemen untuk memasukkan Hak Imunitas itu. Lebih aman menempuh resiko pelemahan KPK yang terlokalisir daripada termanipulasi oleh KPK sendiri.
Berdagang PengaruhKata Prof Andi Hamzah, pakai UU apa KPK mendakwa Irman sebagai berdagang pengaruh?
Influence Trading adalah turunan CAC (Convention Against Corruption) di Meksiko tahun 2003 dan 2006. Andi ditugaskan memasukkan influence trading ke uu kpk. Tak selesai, dan gagal dibuat UUnya. Tak ada pasal
influence trading di UU korupsi kita hingga hari ini.
Mantan Anggota Komisi Hukum DPR
BERITA TERKAIT: