Jimly: Penyederhanakan Jumlah Partai Tidak Bisa Dipaksakan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ruslan-tambak-1'>RUSLAN TAMBAK</a>
LAPORAN: RUSLAN TAMBAK
  • Rabu, 27 Juli 2016, 10:03 WIB
Jimly: Penyederhanakan Jumlah Partai Tidak Bisa Dipaksakan
Jimly Asshiddiqie/net
rmol news logo . Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggaa Pemilu (DKPP) RI Prof Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa ada atau tidak adanya ambang batas parlemen (parliamentary threshold) tidaklah terlalu prinsipil. Kedua-duanya sama-sama konstitusional.

"Cuman kalau dibayangkan threshold itu akan efektif menyebabkan terjadinya penyederhanaan partai, menurut saya tidak. Kecuali kalau ektrim angkanya," jelas dia di ruang kerjanya, belum lama ini.

Akan tetapi bila angka ambang batas terlalu besar maka akan menghambat kebebasan. Pasalnya, masyarakat di Indonesia terlalu majemuk dan kompleks. Tidak bisa mencegah orang atau kelompok untuk mendirikan partai. Kecenderungan yang terjadi orang yang kecewa terhadap salah satu partai, maka akan berpotensi mendirikan partai baru.

"Jadi menurut saya, tidak bisa kita memaksakan diri untuk menyederhanakan jumlah partai dengan threshold. Pilihannya, angka tinggi tapi menghambat demokrasi. Angkanya rendah tidak membuat orang tobat untuk membuat partai lagi. Itu sulit," ungkap Jimly.

Dia menerangkan, kebijakan threshold itu berguna untuk penyederhanaan manajemen pengelolaan Pemilu, bukan untuk maksud mengurangi jumlah partai. Sebab threshold tidak akan efektif karena peran partai masih dibutuhkan untuk mengakomodasi masyarakat yang plural.   

"Jadi, sebenarnya, dalam pemerintahan lebih ideal kalau pemerintahan itu parlementer. Maka, di dalam tubuh kabinet itu tercermin pluralitas masyarakat itu. Tapi oleh karena sistem pemerintahan kita ini menganut sistem presidensial, tidak usah kita bicarakan sistem parlementer itu. Kita bicara bagaimana memperkuat sistem presidensial aja," kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi RI itu.

Caranya, lanjut Jimly, bukan dengan membatasi jumlah partai. Partai banyak tidak menjadi masalah. Akan tetapi struktur parlemennya itu yang diubah menjadi dua kekuatan atau dua barisan seperi di Amerika. Di sana, ada dua kekuatan. Satu mewakili kaum produsen yang bernaung di Partai Republik, sementara satu lagi kaum buruh yang diwakili oleh Partai Demokrat.

"Apakah di Amerika partainya cuma dua? Nggak. Banyak juga. Tiga puluhan lebih. Hanya tidak pernah kedengaran saja. Yang besar itu cuma dua karena terbentuk sejak dua setengah abad. Dua basis kepentingan, kekuatan. Republik dan Demokrat," beber dia.

Di Indonesia akan sulit membayangkan struktur kekuatan politik menjadi dua kekuatan hal ini mengingat keragamanan atau pluralitas yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia.

"Jadi caranya bagaimana? satu segi harus diserap dalam struktur politik, yaitu partai. Biar saja banyak. Tapi begitu masuk dalam stukrtur negara, di parlemennya dibikin dua fraksi. Yaitu, pemerintah dan nonpemerintah. Istilahnya bukan oposisi karena orang tidak suka istilah oposisi. Kalau di Amerika istilahnya mayoritas dan minoritas. Di kita juga jangan menggunakan istilah itu. Orang alergi dengan istilah mayoritas dan minoritas. Istilah lebih tetapnya pemerintah dan nonpemerinta," tutup Jimly. [rus]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA