Dan, dalam pertemuan mendadak dengan JK pada 25 November 2008, baik Sri Mulyani maupun Boediono sebenarnya sudah mengaku ada yang salah dalam menangani Bank Century. Keduanya tak bisa lagi mengendalikan ekses penyelamatan Century karena langsung membengkak dari Rp 632 milair yang disetujui menjadi Rp 2,7 triliun dalam waktu dua hari.
Bentuk pengakuan bersalah lainnya tampak jelas dari jawaban Boediono, ketika JK bertanya 'Kenapa Anda (Boediono) keluarkan ini? Apa yang salah?' Saat itu Boediono menjawab dana bailout diambil oleh pemilik Bank Century. Pertanyaan kritisnya, kalau bank itu dirampok sendiri oleh pemiliknya kenapa negara yang harus menanggung?
Begitu juga ketika Boediono bertanya kepada JK tentang dasar hukum utk menjerat Robert Tantular. Secara psikologis, jawaban dan pertanyaan Boediono yang demikian merefleksikan perasaan bersalah krn upaya KSSK dan BI menyelamatkan Bank Century malah berbuah ekses.
Selain itu, kesaksian JK juga mengungkap inkonsistensi KSSK-BI tentang alasan utama mem-bailout Century. Kepada JK, Boediono menjawab bailout dilakukan karena Robert Tantular mengambil uang dari Century. Tetapi, pada kesempatan lain, Boediono dan Sri Mulyani mengemukakan ancaman krisis ekonomi sebagai alasan utama mem-bailout Century. Di sinilah terlihat inkonsistensi Boediono dan Sri Mulyani.
Sri Mulyani tampaknya ingin menyeret JK ke dalam pusaran ekes itu dengan mengaku telah mengirim pesan singkat mengenai penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik kepada JK. Namun, Sri Mulyani tak bisa membuktikan SMS yang dikirimkannya tersebut.
Menurut saya, pengakuan itu patut dilihat sebagai kebohongan yang bermotif melimpahkan masalah ke pundak JK. Padahal JK dari awal tidak pernah dilibatkan.
Penulis adalah inisiator dan anggota Timwas Century DPR RI
BERITA TERKAIT: