Yang dimaksud para preman adalah masyarakat daerah yang dituduh mengganggu kegiatan hulu migas di daerah. Sementara "para tetangga" digunakan untuk menyebut para bupati atau pemerintah daerah di mana kegiatan hulu migas beraktivitas. Sedangkan yang dimaksud dengan "anak-anak SKKMigas" adalah para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S). Oleh karena itu, Rudi Rubiandini meminta para pemerintah daerah melakukan kerjasama atau mengedepankan dengan SKKMigas dan diminta untuk tidak berani-berani mencubit K3S.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah ini wajah baru dari SKKMigas yang melecehkan peranan pemerintah daerah dan masyarakatnya ? Apakah bijaksana sebagai seorang Kepala SKKMigas, Rudi Rubiandini menganggap K3S sebagai "anak-anak SKKMigas" dan sementara memanggil para bupati dengan sebutan "para tetangga" dan rakyat di daerah itu sebagai "para preman"?
UU Otonomi DaerahPada Agustus 2011, terjadi perusakan fasilitas JOB Pertamina-Medco di Pulau Tiaka, Sulawesi Tengah oleh para warga yang berasal dari daratan yang dalam penyerangan menggunakan perahu. Peristiwa itu membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan kasus tersebut meski polisi dan TNI juga telah dikerahkan segera setelah kejadian. Pencurian minyak di Sumatera Selatan yang ramai pada tahun 2012 adalah kasus lain dari terganggunya kegiatan hulu minyak. Kasus ini mempunyai sejarah panjang dan belum tuntas sekalipun polisi dan TNI sudah turun untuk menanganinya.
Dua kasus ini hanya sebagai contoh dari ratusan kasus gangguan atas kegiatan hulu minyak di daerah-daerah yang dihadapi oleh SKKMigas ataupun K3S. Namun gangguan-gangguan itu tidak berdiri sendiri karena banyak faktor sebagai penyebab gangguan kegiatan hulu. Namun penyebab mendasarnya adalah diterapkannya UU Otonomi Daerah No. 32 Tahun 2004.
Pada tahun 2011 tercatat setidaknya ada 945 kasus konflik horizontal yang bersumber pada batas wilayah daerah. Sekalipun sudah ada penyelesaian untuk beberapa kasus, tidak boleh dipungkiri bahwa latar belakang konflik horizontal ini bersumber pada perebutan sumber-sumber ekonomi terutama pasca pemekaran daerah. Kasus sederhana adalah seperti yang terjadi di Jawa Timur, pada tahun 2011, Blitar dan Kediri saling memperebutkan dan mengklaim berhak atas Gunung Kelud yang memiliki potensi pariwisata dan sumber mineral.
Mempelajari kasus-kasus yang terjadi, ancaman Rudi Rubiandini tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi. Hubungan kerja SKKMigas dan pemerintah daerah seharusnya berdasar pada visi dan tugas bersama yang telah diatur dalam undang-undang yakni mencapai kesejahteraan rakyat, seperti yang diamanatkan UUD 1945 dan yang kemudian dipertegas juga dengan dikeluarkannya UU Otonomi daerah itu sendiri.
Mengingat bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, substansi kegiatan hulu migas seharusnya merupakan industri strategis. Karena merupakan industri strategis, persoalan keamanan serta gangguan atas kegiatan tersebut menjadi tanggung jawab negara dan bukan domain dari SKKMigas. Dengan demikian lebih jauh lagi, SKKMigas harus menjadikan migas sebagai alat strategis pemersatu bangsa dan kegiatan hulu migas sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut.
Pasal 1 ayat 2-3 UU No. 32 Tahun 2004 memuat yang dinamakan pemerintah daerah adalah gubernur dan bupati/walikota yang memiliki kewajiban juga atas pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya (Pasal 2: ayat 4-7). Oleh karena itu SKKMigas tidak mungkin mengabaikan posisi pemda sebagai penguasa wilayah daerah di mana kegiatan hulu migas dilakukan. Oleh karena itu, kasus-kasus gangguan terhadap kegiatan hulu migas seharusnya didekati dengan cara memahami UU Otonomi Daerah dan dinamika budaya di wilayah tersebut.
Dalam posisi seperti itu, SKKMigas, K3S dan pemerintah daerah (juga masyarakatnya) saling membutuhkan berdasarkan peranan masing-masing karena kegiatan eksplorasi ataupun ekploitasi berdampak serta bertujuan menyejahterakan rakyat. Dengan demikian sudah sepantasnyalah kedudukan SKKMigas, K3S dan pemerintah daerah saling terikat, saling terkait dan mendukung satu sama lain.
Bahwa kemudian terjadi banyak gangguan terhadap kegiatan hulu migas di daerah-daerah sebenarnya tidak terlepas dari belum tercapainya kesejahteraan pada daerah itu. Hal yang sama sebenarnya juga bisa dianalogkan, jika dipelajari latarbelakang pemekaran daerah. Ambil contoh saja, alasan keinginan pemisahan diri daerah Kutai Pesisir dari Kabupaten Kutai Kertanegara.
Mengapa warga Kutai Pesisir bersikeras melepaskan diri dari Kabupaten Kutai Kertanegara? Masyarakat daerah Kutai Pesisir ingin membentuk kabupaten dan pemerintahan sendiri dengan alasan, berkeyakinan akan lebih sejahtera jika melepaskan diri dari Kabupaten Kutai Kertanegara mengingat sumber daya alam yang selama menjadi pendapatan Kabupaten Kutai Kertanegara berada dalam wilayah Kutai Pesisir. Kesimpulan sementara adalah kesejahteraan di Kabupaten Kutai Kertanegara belum merata dan belum dinikmati oleh seluruh warganya.
Cara GerakSKKMigas sebagai pengganti BPMigas harus memiliki cara pandang baru dalam berkegiatan antara lain lebih mengedepankan spirit nasionalisme yang merupakan salah satu alasan pembubaran BPMigas pada November 2012.
Dengan spirit yang baru ini diharapkan SKKMigas lebih dapat memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan kesejahteraan daerah setempat. Hal itu tidak mungkin tercapai jika SKKMigas beranggapan bahwa K3S adalah “anak-anaknyaâ€, sementara pemerintah daerah lain dianggap sebagai “tetanggaâ€. Selain menyejahterakan, kehadiran SKKMigas melalui K3S di daerah tersebut seharusnya menjadi alat pemersatu berbagai suku, rasa atau kelompok yang hidup di wilayah tersebut.
Ada baiknya pemerintah pusat dan daerah belajar dari Sudan dan Nigeria. Nigeria dan Sudan adalah dua negara yang hancur karena justru kedua negara itu sangat kaya akan migas. Rakyat di masing-masing negara tsb berperang saudara, saling berebut kekuatan untuk menguasai migas. Dalam spirit otonomi daerah, kita tidak ingin migas menjadi penghancur bangsa dan memecah belah negara.
Ada beberapa langkah yang mungkin bisa digunakan sebagai pemikiran, agar kegiatan hulu tidak terganggu. SKKMigas hendaknya: pertama mendorong terbentuknya Peraturan Daerah (Perda) untuk bagi hasil –yakni distribusi bagi hasil yang disepakati untuk propinsi, kabupaten, kecamatan dan kelurahan atau hingga RW/RT. Tidak adanya perda menyebabkan mandegnya distribusi bagi hasil pusat ke daerah yang tentunya juga akan menghambat distribusi kesejahteraan atau pembangunan daerah; kedua mendorong terbentuknya BUMD / Koperasi untuk ambil bagian dalam kegiatan hulu migas; ketiga mempercepat program Indonesian Incorporated di bidang tenaga kerja migas seperti yang digagas oleh R. Priyono, mantan Kepala BPMigas, agar tenaga kerja (SDM) daerah dapat ambil bagian dalam kegiatan hulu migas. Program ini dapat dilakukan dengan membangun kerjasama yang erat antara SKKMigas, K3S dan Perguruan Tinggi Daerah.
Keempat, meningkatkan komunikasi tiga arah yang terbuka serta transparan antara SKKMigas, K3S dan Daerah agar hambatan budaya dan keamanan dapat menemukan salurannya. Cara ini bisa dilakukan dengan memberdayakan sarjana antropolog, sebagai misal, dalam kegiatan komunikasi ketiganya; dan terakhir, melibatkan LSM dalam Corporate Social Responsibility (CSR) atau Community Development (CD) dengan kriteria, kualitas serta standardisasi yang transparan dan accountable, sebagaimana yang ditentukan dalam ISO 26000.
Semoga pernyataan Rudi Rubiandini selaku Kepala SKKMigas tidak mendorong terjadinya perpecahan bangsa suku serta pusat daerah, tetapi bahkan sebaliknya mendorong pemerintah dan masyarakat daerah sadar atas manfaat kehadiran K3S di daerahnya. Lebih jauh lagi, semoga dengan cara pendekatan baru, Indonesia benar-benar dapat melihat wajah baru industri migas dan SKKMigasnya. Pada akhirnya, semoga kita dapat berharap banyak, migas menjadi alat strategis pemersatu bangsa. Ini semua dilakukan Demi Indonesia Satu Tak Terbagi!
Penulis adalah Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa).
BERITA TERKAIT: