Pakar Pidana: Pembuktian Terbalik di Pengadilan, Bukan di Media Massa

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Sabtu, 11 Mei 2013, 10:17 WIB
Pakar Pidana: Pembuktian Terbalik di Pengadilan, Bukan di Media Massa
ilustrasi
rmol news logo Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU Tindak Pidana Pencucian Uang, pembuktian terbalik terjadi di pengadilan. Maka ada kewajiban penyidik untuk menyita harta para tersangka korupsi dengan bukti yang cukup.

"Hakim di pengadilan wajib bertanya pada terdakwa dari mana saja hartanya," kata pakar hukum pidana, Asep Iwan Iriawan, dalam diskusi "Uang Dicuri, Uang Dicuci" di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (11/5).

Misalnya, gaji seorang anggota DPR Rp 1 miliar, tapi punya banyak mobil mewah. Maka dia wajib buktikan di pengadilan dari mana saja semua harta tak wajar itu didapatkannya. Beban pembuktian tidak hanya ditumpukan sepenuhnya pada penuntut umum, kali ini terdakwa yang juga dikenakan kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.

"Makanya ada kata 'patut diduga'. Siapapun yang dituduh cuci uang atau korupsi, buktikan di pengadilan. bukan bicara di tingkat media massa," terangnya.
 
Dia tegaskan, penyitaan tunduk pada kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). Tapi KUHAP kemudian bisa dibatalkan karena ada UU yang lex specialis, yaitu UU pencucian uang atau UU Tipikor.

"Di KUHAP dijelaskan, penyitaan dilakukan karena ada alasan mendesak takut ada pemindahtanganan aset. Di KPK, selama tak diatur KUHAP, maka diatur oleh UU KPK," terangnya. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA