Pengamat: OTT Jaksa Justru Bantu Kejagung Bersihkan Aparat Nakal

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Senin, 22 Desember 2025, 08:18 WIB
Pengamat: OTT Jaksa Justru Bantu Kejagung Bersihkan Aparat Nakal
Ilustrasi (Foto: Istimewa)
rmol news logo Kejaksaan Agung (Kejagung) seharusnya memberikan apresiasi atas langkah berani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap sejumlah jaksa.

Hal tersebut disampaikan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia, Wildan Hakim, dalam merespons penangkapan sejumlah jaksa di Banten dan Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan, oleh KPK melalui OTT.

“Langkah berani KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap sejumlah jaksa seharusnya mendapatkan apresiasi dari Kejaksaan Agung. Meski terkesan mencoreng citra institusi kejaksaan, langkah ini justru membantu Kejagung membersihkan aparatnya yang nakal,” kata Wildan kepada RMOL, Senin, 22 Desember 2025.

Menurut Wildan, keberanian KPK tersebut menunjukkan bahwa lembaga antirasuah itu masih memiliki integritas sebagai penegak hukum yang konsisten dalam memberantas korupsi.

“Petugas KPK masih berani melakukan OTT terhadap jaksa yang juga sama-sama berstatus sebagai penegak hukum,” ujarnya.

Wildan berharap relasi antara dua institusi besar penegak hukum tersebut ke depan semakin solid. Kerja kolaboratif dalam pemberantasan korupsi, menurutnya, tidak seharusnya diwarnai oleh konflik kepentingan.

“Dari perspektif Kejagung mungkin saja muncul perasaan terluka karena ada jaksa yang ditangkap KPK. Kita tahu ada jaksa di HSU Kalimantan Selatan, serta jaksa di Kejari Kabupaten Tangerang dan Kejati Banten yang ditangkap. Selama proses penangkapannya berdasarkan bukti yang kuat, maka harus diproses sesuai hukum yang berlaku,” jelasnya.

Wildan juga menyoroti beredarnya rumor bahwa Kejagung akan menarik sejumlah jaksa yang saat ini ditugaskan di KPK. Namun, rumor tersebut telah dibantah oleh Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang Kejagung, Yadyn Palebangan.

Ia menilai kemunculan rumor tersebut kemudian dikaitkan dengan perseteruan antara KPK dan Polri pada 2009 yang dikenal dengan istilah “Cicak versus Buaya”. Dalam istilah itu, cicak merepresentasikan KPK yang dianggap lemah, sedangkan buaya menggambarkan Polri sebagai institusi yang kuat.

“Selama ini, kontribusi Kejagung dengan menempatkan jaksa-jaksanya di KPK telah mendapat persepsi positif dari publik. Karena itu, jangan sampai muncul preseden yang mengesankan adanya perbedaan kepentingan antara dua institusi penegak hukum ini dalam penegakan hukum,” tegas Wildan.

Pengamat politik dari Motion Cipta (MC) Matrix itu pun menekankan pentingnya peningkatan komunikasi organisasi antara KPK dan Kejagung. Menurutnya, komunikasi antarlembaga harus dibangun secara rapi untuk mencegah kesalahpahaman dan menumbuhkan rasa saling percaya.

“Kejagung harus percaya bahwa KPK bertindak profesional ketika melakukan OTT terhadap jaksa. Sebaliknya, KPK juga perlu segera mengidentifikasi potensi konflik setiap kali terjadi OTT. Ini menjadi tugas pimpinan KPK agar potensi konflik dapat dikelola dan tidak berkembang menjadi persoalan yang lebih besar,” pungkas Wildan. rmol news logo article
EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA