Seperti diketahui, data tersebut menjadi alat bukti dalam sidang dugaan pelanggaran kode etik oleh tujuh komisioner KPU yang dilaporkan sejumlah parpol. Sidang diselenggarakan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan sampai sekarang belum sampai pada kesimpulan akhir.
Sidang tersebut menguatkan kembali kecurigaan bahwa KPU sudah diintervensi oleh "partai parlemen" sejak awal.
Dalam agenda sidang perkara yang diajukan fungsionaris sejumlah parpol tak lolos verifikasi KPU dan dipimpin Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie, terungkap bukti data yang menguatkan dugaan KPU melakukan kecurangan dalam verifikasi parpol.
Komisioner KPU, Hadar Gumay, pernah mengancam akan mempidanakan pelaku pembocoran data. KPU akan membawanya ke ranah hukum agar menjadi pelajaran penting bagi pembenahan di Sekretariat KPU.
Namun, pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, menegaskan data tersebut bukan data rahasia negara.
"Bahwa data itu adalah dokumen negara, itu benar. Tapi data itu bukan rahasia. Jadi
ngapain kita persoalkan siapa membongkar. Yang membongkar tidak bisa dipidana karena data itu bisa diakses oleh siapapun," terang Margarito kepada
Rakyat Merdeka Online, Selasa (23/4).
Data tersebut, menurut pemegang gelar doktor hukum asal Ternate ini, merupakan kumpulan fakta dan tidak ada letak kerahasiaannya. "Masalahnya memang peradilan kode etik itu tidak berwenang menentukan sah atau tidaknya data itu," tegasnya.
Tetapi, bila KPU membenarkan data itu milik mereka dan tidak menolak kebenaran data itu, berarti ada masalah dalam keputusan KPU terkait parpol yang lolos menjadi peserta Pemilu.
Pertanyaan besarnya, kata Margarito, apakah data itu yang jadi dasar KPU mengeluarkan keputusan parpol yang lolos dan tak lolos verifikasi administrasi?
"Andai data itu benar dan data itu pula yang jadi dasar keputusan KPU, maka keputusan KPU dapat dibatalkan karena berarti ada sejumlah besar partai yang sebenarnya tak lolos secara administrasi dan otomatis tidak bisa lolos ke verifikasi faktual," ungkapnya.
Margarito mengaku tak tahu parpol mana saja yang diduga kuat tak layak menjadi parpol peserta pemilu. Namun, KPU harus bisa mengubah keputusannya kalau data parpol-parpol yang mengadu ke DKPP itu benar. KPU harus keluarkan keputusan baru bahwa sejumlah partai tidak bisa ikut pemilu.
Sedangkan sanksi yang layak untuk komisioner KPU yang terlibat kasus itu adalah sanksi pemecatan atau pemberhentian dengan tidak hormat. Tapi, para komisioner tidak bisa dipidanakan.
Sedangkan menyangkut nasib kumpulan parpol yang mengadukan dugaan pelanggaran kode etik KPU itu, ditegaskan Margarito tidak serta merta menjadikan mereka masuk ke dalam daftar peserta pemilu.
"Kalau partai-partai itu secara faktual tak penuhi syarat, mau apa? Kekeliruan KPU meloloskan sejumlah partai itu tak membuat partai lain yang tadinya gagal menjadi lolos. Kalau ada perbuatan tak etis, tak otomatis mereka yang mengadu lolos," terang Margarito.
Sementara, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi), Jeirry Sumampow, menyatakan, manipulasi data verifikasi administrasi itu diduga dilakukan pada jeda waktu pemunduran hasil verifikasi administrasi (dari 23 Oktober 2012 menjadi 28 Oktober 2012).
Dia juga mengatakan, hal ini juga yang memicu konflik di internal KPU. Awalnya, seluruh proses verifikasi diserahkan KPU ke sekretariat. Kemudian, KPU mungkin kaget ketika ditemukan ada banyak partai parlemen yang tidak tak lolos.
[ald]
BERITA TERKAIT: