Demikian dikatakan, Direktur Imparsial, Al Araf, dalam sebuah diskusi yang digelar Madjid Politika Universitas Paramadina, bertajuk "RUU Ormas dalam Konsolidasi Demokrasi di Indonesia".
"Banyak kelompok yang keberatan dengan RUU ormas. Soal urgenisnya, untuk apa RUU Ormas? Pemerintah dan parlemen sesat pikir dalam berorganisasi dan berserikat," ucapnya, seperti dalam rilis yang dikirimkan Majid Politika kepada wartawan.
Dia tegaskan, UU Ormas tidak dibutuhkan. Rencana revisi UU itu, disebutnya, tidak punya argumentasi filosofis, yuridis dan sosiologis yang kuat. Dalam aspek yuridis, dalam tata sistem negara hukum dianut dua rezim pengaturan berbasis anggota dan perkumpulan. Untuk yang tidak punya anggota adalah yayasan. Nah, Indonesia sudah memiliki UU Yayasan.
"Sedangkan UU perkumpulan masih mengacu kolonial. Sehingga tidak terlalu dibutuhkan," jelas Al Araf.
Lewat UU Ormas-lah rezim Orde Baru melakukan politik represif dengan memberangus kelompok sayap Islam. Disitulah permulaan politik totalitarian.
"UU itu belum dicabut. Seharusnya UU itu bukan direvisi, tapi dicabut. Kita tidak hidup dalam alam represif lagi. Maka seharusnya tidak usah diteruskan. Semua Ormas akan demo bersar-besaran kalau ini disahkan," ucapnya.
Para aktivis menyatakan, banyak pasal dari revisi UU Ormas yang membuka ruang intervensi negara. Kesimpulannya, pemerintah bisa melakukan seleksi ormas. Rezim politik administrasi akan diterapkan. Bahkan ada indikasi perselingkuhan oligarki dengan kaum kapitalis.
"Ada kepentingan kapitalistik, di mana para pemilik modal kesal dengan ormas-ormas buruh yang selalu protes meminta haknya dipenuhi. Anggota DPR butuh modal, maka disokong pemilik modal untuk melakukan kampanye, tapi memang sulit dibuktikan," tandasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: