Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Zakat Solusi Membendung 'Virus' Terorisme

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Minggu, 10 Juni 2018, 10:43 WIB
Zakat Solusi Membendung 'Virus' Terorisme
Nasaruddin Umar/Net
rmol news logo Di bulan Ramadan ini umat Islam diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah sebagai salah satu rukun islam yang harus dilaksanakan.

Selain zakat fitrah, masih ada beberapa zakat lainnya seperti infaq, mal, sedekah, sodaqoh, hibah, dan lain-lain yang bisa dilakukan umat Islam untuk membantu perekonomian warga yang tidak beruntung.

Tidak hanya itu, zakat juga bisa menjadi solusi untuk mewujudkan keadilan sosial, terutama untuk membendung ‘virus’ radikalisme dan terorisme. Pasalnya, radikalisme dan terorisme tidak hanya dipicu faktor ideologi saja, tetapi juga faktor ekonomi, sosial, dan politik.
 
"Zakat memang bisa menjadi solusi meski tidak terlalu besar, mengingat jumlah penduduk miskin dibandingkan nilai zakat umat islam di Indonesia sangat kecil. Tapi itu tetap sangat penting dalam mengurangi kesenjangan sosial yang menjadi incaran penyebaran radikalisme dan terorisme," ujar Imam Besar Masjid Istiqlal, KH. Nasaruddin Umar di Jakarta.

Sayang, lanjut Nasaruddin, sejauh ini belum dirancang pengeluaran zakat untuk berkontribusi dalam pencegahan terorisme, terutama untuk mendukung program deradikalisasi.

Mestinya, lembaga atau badan penyalur zakat seperti Baznas dan Dompet Dhuafa bisa duduk bareng dengan pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), untuk mengarahkan bagaimana zakat bisa diarahkan untuk memperkecil ketimpangan antara si kaya dan si miskin, serta para mantan kombatan dan napi terorisme yang telah insyaf dan butuh pekerjaan untuk melanjutkan hidupnya. "Itu penting agar mereka tidak berpikir lagi untuk kembali menjadi teroris," kata dia menekankan.

masih kata rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Jakarta ini,

Namun, terlalu kecilnya nilai zakat umat Islam di Indonesia membuatnya agak pesimis. Apalagi di Indonesia, mustahik-nya (penerima zakat) terlalu besar.

"Sebenarnya hal ini bisa diatasi dengan kebijakan pemerintah. Namun itu juga berat karena pajak yang diterima pemerintah saat ini saja, peruntukkannya masih tidak memihak ke rakyat kecil," terangnya.

Tapi dalam hal ini, menurut dia, pemerintah tidak bisa disalahkan karena pendapatan pajak itu digunakan untuk membangun visi jangka panjang, membangun infrastruktur yang jumlahnya triliunan.

"Dari pengalaman Rasulullah SAW dan para sahabat, yang kita aktualkan hanya satu yaitu zakat saja. Terlalu pelit kita sebagai umat islam manakala pengeluarannya hanya zakat. Hanya 2,5 persen, padahal keuntungan kita dari mana-mana saja. Ada orang yang hanya sarung, sarung seperberapanya dari 2,5 persen dengan hartanya yang miliaran di bank. Cuma berapa kodi sarung dibagikan kepada fakir miskin. Itupun keluarga dekatnya masih dikasih, yang seharusnya bukan mustahik-nya. Saya kira pengelolaan zakat ini juga satu problem," papar Nasaruddin.

Secara umum, mantan Wakil Menteri Agama ini menyatakan, penanggulangan terorisme di Indonesia masih butuh perjuangan keras seluruh bangsa Indonesia. Ia melihat deradikalisasi adalah sebuah sistem yang harus diterapkan, tapi tidak bisa ditarget dalam jangka pendek.

Menurutnya, membebani pemerintah dengan beban jangka pendek urusan deradikalisasi, itu tidak mungkin.


Ia meminta masyarakat agar tidak berpikir bahwa dengan terbentuknya BNPT, sim salabim selesai masalah terorisme selesai.  Dalam deradikalisasi itu, kehadiran BNPT hanya untuk meredam, memproteksi, membatasi, mereduksi, melokalisir kegiatan terorisme.

"Jangan membebani  segala-galanya BNPT itu tidak mungkin. Sehebat apapun power yang diberikan, terorisme tetap sulit dikikis sampai ke akar-akarnya," tegasnya.

Ia mencermati penyelesaian persoalan sekarang dengan non BNPT. Artinya, kesenjangan, urusan untuk merajut sang kaya makin kaya, si miskin makin miskin.

"Itu bukan wilayah BNPT, tapi wilayah Menko Perekonomian, qwilayahnya Menteri Sosial atau Bappenas. Dan di atas segalanya, harus ada kebijakan Presiden," terangnya.

Sejauh ini, Nasaruddin menilai eradikalisasi yang dilakukan BNPT sudah

on the right track. Merangkul kembali mantan napiter, bahkan mereka dijadikan kepanjangan tangan untuk menyadarkan teman-teman yang masih di lapangan agar kembali. Ia bahkan menilai BNPT bisa jadi teladan, dan faktanya banyak mendapat apresiasi dari BNPT sedunia.

"Itu harus diapresiasi. Jangan menjadikan BNPT seperti keranjang sampah. Begitu ada teroris, langsung keluar penilaian bahwa BNPT tidak berfungsi. Begitu ada radikalisme BNPT, apa kerjaan BNPT? Padahal membebani sesuatu yang bukan kapasitas itu sama saja dengan mendzolimi BNPT. Itu bukan wilayahnya," tukas Nasaruddin.

Karena itu, Nasaruddin mengajak seluruh pihak untuk mengerti anatomi terorisme di Indonesia. Menurutnya, terorisme di Indonesia tidak separah terorisme di Palestina yang sudah mendarah daging karena dendam kepada israel. Juga tidak sama dengan terorisme di Irak yang memang rumahnya hancur-hancuran oleh kelompok penguasa pemerintah.

"Di Indonesia, rumah teroris gak diapain, orang tuanya juga tetap hidup. Bahkan mereka juga dirangkul," bebernya. [wid]
 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA