Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Deradikalisasi Harus Dilanjutkan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Selasa, 14 Maret 2017, 11:19 WIB
Deradikalisasi Harus Dilanjutkan
Ilustrasi/Net
rmol news logo Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak pernah ragu dengan program deradikalisasi terhadap para napi terorisme. Faktanya, deradikalisasi manjur untuk menekan dan mengurangi aksi terorisme.

"Faktanya memang demikian. Dulu para teroris bisa membuat bom seberat 1,2 ton saat terjadi Bom Bali. Dulu teroris berani melakukan bom bunuh diri. Sekarang dari beberapa aksi teror di Jalan Thamrin, di Samarinda, dan di Bandung, mereka hanya bisa membuat bom dengan daya ledak rendah. Itu artinya, apa yang kami lakukan dengan program deradikalisasi berhasil mengurangi tingkat radikal para teroris, sehingga nyali mereka sekarang makin ciut," papar Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Hamidin di Jakarta, Selasa (14/3).

Selain itu, sejak BNPT berdiri 2010 lalu, sudah ratusan napi terorisme yang berhasil direhabilitasi dan resosialisasi ke masyarakat. Bahkan mereka kini aktif membantu pemerintah dalam menjalankan program-program pencegahan terorisme baik itu melalui dakwah,diskusi dan berbagai aktivitas kemasyarakatan.

Sebut saja kakak beradik Ali Imron dan Ali Fauzi. Ali Imron tersangka Bom Bali, sedangkan Ali Fauzi aktivitas Jamaah Islamiyah (JI) yang pernah lama berguru di Filipina Selatan.

Kemudian Abdurrahman Ayyub (mantan Ketua JI Australia), Abu Dujana, Khaerul Ghazali, Abu Tholut, Tony Togar, Zarkasih, Sofyan Sauri, dan lain-lain. Bahkan Umar Patek yang kepalanya pernah dihargai Rp 5 miliar oleh Amerika Serikat, kini juga sudah bertobat siap mendedikasikan sisa hidupnya untuk menjaga perdamaian di Indonesia.

Pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015 lalu di Lapas Porong, Sidoarjo, Umar Patek bahkan menjadi petugas pengerek bendera Merah Putih dan mengucapkan ikrar kesetiaannya.

"Sekarang di negara mana ada tokoh teroris sekaliber Ali Imron, Abu Dujana dan Zarkasih bisa diajak dialog oleh otoritas pemerintah yang mereka nilai thogut. Itu juga fakta keberhasilan deradikalisasi," ujar mantan Kapolres Jakarta Pusat dan Metro Tangerang ini.

"Karena itu deradikalisali harus dilanjutkan, tentunya kualitasnya harus ditingkatkan dengan berbagai inovasi-inovasi sesuai dengan perkembangan yang terjadi," tambahnya.

Brigjen Hamidin menjelaskan, teror di Indonesia itu mengalami sejarah panjang dan meninggalkan angka kejahatan yang fantastis sejak tahun 2000 sampai sekarang. Bahkan jauh sebelumnya, juga sudah ada aksi terorisme di Indonesia seperti di era Presiden Soekarno, di mana pernah minimal tujuh kali pelemparan granat seperti di Cikini tahun 1957 dan penyerangan pesawat MIG17 tahun 1960. Era Presiden Soeharto terjadi kasus Woyla, bom di empat kedutaan yaitu Jepang, Rusia, Kanada, dan Amerika Serikat yang dilakukan WN Jepang, Tsutomo Sirhosaki, 14 Mei 1986. Kemudian di era reformasi terjadi Bom Bali dengan peledak 1.2 ton yang menewaskan 202 orang.

Ia mengakui dari ratusan bahkan ribuan napi terorisme yang menjalani deradikalisasi ada faktor kegagalannya tapi tidak banyak. Selain itu, mereka yang kembali beraksi itu itu pemahaman radikalnya tidak sekuat dulu.

"Buktinya pelaku bom Bandung dan Samarinda tidak berani melakukan bunuh diri. Itu tandanya pemahaman jihad mereka sudah menurun karena takut mati. Dan itu 'buah' dari deradikalisasi," tukas Hamidin.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA