Menindaklanjuti dari diskusi riset ini pada September lalu, DFW Indonesia menyelenggarakan kegiatan diseminasi untuk “Laporan Quick Assessment: Kondisi Pekerja Pengolah Tuna di Benoa, Bitung, dan Jakarta”.
Direktur Program DFW Indonesia Imam Trihatmadja menyampaikan bahwa diseminasi riset ini merupakan dilakukan sebagai salah satu cara untuk bisa memberikan gambaran bagaimana pekerja pengolah makanan laut bekerja di Indonesia.
“Dalam lima bulan berproses, banyak temuan bagaimana kondisi pekerja pengolah makanan laut yang kami ungkapkan dalam riset cepat ini,” ujar Imam dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Sabtu, 6 Desember 2025.
Human Rights Officer DFW Indonesia Nabila Tauhida memaparkan bahwa hasil riset yang dilakukan menunjukkan bahwa industri ini beroperasi dalam rezim ketenagakerjaan fleksibel yang ditandai kontrak tidak pasti (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu-PKWT berulang dan skema pekerja borongan), upah rendah, jam kerja panjang, serta minim perlindungan sosial.
“Dalam proses pelaksanaan riset ini kemarin, kami bahkan menemukan situasi bahwa banyak pekerja yang harus bekerja dengan suhu minus 45 derajat, mereka masuk ke dalam ruangan tersebut, tanpa adanya Alat Pelindung Diri (APD) yang layak untuk bisa melindungi mereka,” kata Nabila.
Terlebih, disposabilitas pekerja dalam industri ini cukup tinggi. Hal ini terlihat dalam banyaknya proses perekrutan dalam model walk-in-interview yang bisa melakukan wawancara pekerja hingga 10-15 orang setiap harinya.
Nabila juga menambahkan bahwa disisi lain, temuan ini merupakan pembuka bahwa hingga hari ini bukan hanya awak kapal perikanan (AKP) yang belum bekerja dengan layak namun juga mereka yang bekerja di pabrik pengolahan ikan.
Sejalan dengan paparan Nabila, Luthfian Haekal selaku Human Rights Manager DFW Indonesia menyampaikan bahwa dalam riset ini ditemukan bahwa disposabilitas juga didukung oleh adanya turnover yang cukup tinggi.
Menurut Haekal, dalam prosesnya bahkan ada perwakilan bagian sumber daya manusia sebuah perusahaan yang menyampaikan bahwa komitmen kerja bagi generasi muda yang mereka rekrut cenderung lebih minim dibandingkan generasi sebelum mereka.
“Di tahun 1997-1998, salah satu hal yang disyaratkan oleh IMF untuk program reformasi ekonomi adalah penekanan bahwa upah buruh harus selalu murah. Ini kemudian secara tidak langsung berdampak pada bagaimana industri dan regulasi membentuk peraturan ketenagakerjaan salah satunya dengan membuat kontrak kerja jangka pendek,” tandas Haekal.
Dari riset ini, DFW Indonesia merekomendasikan beberapa hal antara lain: melakukan penyusunan standar ketenagakerjaan sektoral perikanan, mewajibkan uji tuntas HAM sebagai syarat ekspor, dan melakukan audit PKWT tahunan berbasis risiko untuk menghindari pelanggaran batas kontrak dan mencegah ketidakpastian pekerja.
Tentunya, rekomendasi ini tidak bisa berjalan tanpa adanya kolaborasi multi pihak dari pemerintah, kementerian dan lembaga terkait, asosiasi pengusaha, serta kelompok masyarakat. Sehingga, DFW Indonesia berharap bahwa riset ini bisa menjadi salah satu pembuka mata bagi banyak pihak mengenai realita pekerja pengolahan makanan laut di Indonesia.
BERITA TERKAIT: