Papua termasuk zona rawan mengingat saat ini tengah terjadi; (1) ekspansi pertambangan mineral dan energi, (2) perluasan perkebunan monokultur, (3) pembangunan jalan dan infrastruktur yang memotong kontur lereng, serta (4) meningkatnya eksploitasi hutan dan wilayah adat.
Hal itu sebagaimana disampaikan Direktur Institut USBA, Charles Imbir yang meminta seluruh pihak di Papua untuk mewaspadai terjadi bencana banjir dan tanah longsor
“Bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan terjadi karena hujan, tetapi karena tata kelola ruang yang mengabaikan keselamatan ekologis. Papua tidak boleh mengulang kesalahan yang sama,” kata Charles dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Rabu malam, 3 Desember 2025.
Ia menegaskan bahwa tidak ada kata terlambat untuk melakukan pencegahan terhadap bencana di tengah masuknya musim hujan.
“Saat Sumatera berjuang memulihkan hulu DAS yang hancur, Papua masih memiliki kesempatan untuk mencegah krisis ekologis sebelum terlambat,” ungkapnya.
Selain itu, Charles menyerukan agar segera melakukan peta hotspot konsesi berisiko tinggi di Papua
“Perintahkan moratorium lanskap sementara di titik-titik prioritas, misalnya hulu DAS prioritas yang tumpang tindih dengan konsesi baru sampai audit risiko lengkap dilakukan,” jelas dia.
Masih kata Charles, kemudian perlu dilakukan audit ekologi independen dan kewajiban pemulihan.
“Tetapkan audit yang menghitung deforestasi, perubahan hidrologi, dan kontribusi sedimentasi per korporasi; gunakan hasil audit untuk menentukan sanksi, revisi izin, atau kewajiban restorasi,” bebernya.
“Tingkatkan transparansi izin dan pengawasan, portal publik peta izin konsesi, update real-time pelaporan pelanggaran lingkungan, dan keterbukaan data AMDAL/UKL-UPL.Transparansi ini mengurangi risiko tumpang tindih izin seperti yang terjadi di Sumatera,” pungkas Charles.
BERITA TERKAIT: