Kegiatan diseminasi yang digelar pada Selasa 29 April 2025, di Menara Caraka, Jakarta ini, turut dihadiri Deputi Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup, Ade Palguna Ruteka; serta Direktur Industri Kimia Hilir & Farmasi, Ditjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian, Tri Ligayanti.
Sampah plastik saat ini masih menjadi tantangan besar dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia. Melalui Peraturan Menteri LHK No. 75 Tahun 2019, pemerintah menargetkan pengurangan timbunan sampah dari produsen sebesar 30 persen pada 2029.
Target ini didorong melalui upaya daur ulang, penarikan kembali kemasan, hingga pemanfaatan ulang.
Di sisi lain, industri daur ulang di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Mulai dari konektivitas infrastruktur pengumpulan yang belum merata, ketidakseimbangan geografis, dampak fluktuasi harga plastik global, ketergantungan pada impor plastik, hingga kesulitan dalam mendaur ulang jenis plastik tertentu. Keterbatasan data juga masih menjadi kendala dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan yang tepat sasaran.
Untuk menjawab kondisi tersebut, SWI dan IPR menyusun studi RRI untuk memberikan landasan berbasis data.
Studi dilakukan selama periode Juli hingga Desember 2024 dengan pendekatan hulu-hilir. Metode pengumpulan data melalui wawancara sekitar 700 pelaku rantai nilai plastik dan data sekunder berdasarkan data pemerintah, BPS, dan literatur.
Salah satu temuan dari studi ini menunjukkan kinerja daur ulang plastik di Indonesia yang cukup baik, dengan tingkat daur ulang plastik total dari sampah pascakonsumsi (PCR) yang tergolong moderat. Bahkan tingkat daur ulang sampah pascakonsumsi (PCR) termasuk tinggi untuk PET botol di 71 persen dan HDPE rigid di 60 persen.
Angka tingkat daur ulang ini berada dalam tingkat yang baik dan telah meningkat secara signifikan berkat kolaborasi yang terjadi lintas pemangku kepentingan, termasuk berbagai inisiatif yang telah dilakukan industri.
Dini Trisyanti selaku Direktur SWI dan peneliti utama menilai inisiatif studi RRI ini sebagai langkah penting.
“Kami percaya data yang akurat sangat krusial untuk memahami kondisi nyata di lapangan dan menjadi dasar bagi kebijakan yang lebih tepat. Studi ini menunjukkan kontribusi daur ulang plastik dalam produksi resin plastik mencapai 19 persen dengan total nilai ekonomi mulai dari pengumpulan, agregasi, hingga daur ulang plastik setidaknya mencapai Rp19 triliun per tahun," ujar Dini, melalui keterangannya, Rabu, 30 April 2025.
"Melihat dampak perekonomian dan pentingnya peran daur ulang plastik dalam pengelolaan sampah, diperlukan kolaborasi aktif lintas sektor. Termasuk edukasi konsumen dalam memilah sampah dari sumber, transparansi pelaporan daur ulang secara nasional, serta inovasi teknologi untuk mendorong daur ulang plastik,” sambungnya.
Sudi RRI ini mendapat apresiasi Deputi Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup, Ade Palguna Ruteka. Ia menilai bahwa studi yang dijalankan oleh SWI tidak hanya melengkapi upaya yang telah dilakukan pemerintah, tetapi juga memberikan wawasan tambahan melalui hasil identifikasi dan analisa yang komprehensif.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas pemangku kepentingan sebagai kunci untuk mewujudkan sistem pengelolaan sampah yang inklusif dan berkelanjutan.
“Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional menargetkan penyelesaian 100 persen permasalahan sampah pada tahun 2029. Untuk mencapai target ambisius tersebut, telah disiapkan berbagai strategi pengurangan dan penanganan sampah, termasuk mendorong penerapan prinsip ekonomi sirkular dalam sistem daur ulang serta mendorong produsen untuk menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR). Tentunya, target ini tidak akan tercapai tanpa dukungan dari seluruh sektor,” papar Ade.
Inisiatif pengelolaan sampah telah berkembang di berbagai sektor, namun diperlukan kolaborasi dan sinergi lintas lembaga dan sektor untuk mengintegrasikan seluruh upaya tersebut dalam bentuk konkret. Beberapa di antaranya adalah keterbukaan data dan insentif kebijakan, baik fiskal maupun regulasi, yang akan sangat menentukan kemajuan industri daur ulang.
Tanggapan Perwakilan Industri Kemasan Berbahan PlastikTak hanya perwakilan pemerintah, diskusi kali ini juga turut dihadiri beberapa perwakilan dari industri yang menghasilkan produk dengan kemasan berbahan plastik. Di antaranya Unilever Indonesia, Nestlé Indonesia, dan Aqua. Tiga perusahaan ini menegaskan komitmennya untuk mengambil peran aktif dalam menangani sampah plastik di seluruh rantai bisnisnya.
Head of Division Environment & Sustainability Unilever Indonesia Foundation, Maya Tamimi menyampaikan, perusahaan terus berkomitmen untuk mengambil peran aktif dalam menangani sampah plastik di seluruh rantai nilai bisnisnya. Unilever Indonesia memiliki fokus yang kuat, jelas, terukur, dan sejalan dengan program pemerintah dalam hal pengurangan serta pengelolaan sampah plastik.
Pada 2024, Unilever Indonesia telah mengumpulkan dan mengelola 90.000 ton sampah plastik, lebih banyak dari yang digunakan untuk menjual produk-produknya. Upaya ini dicapai melalui jaringan bank sampah binaan, pengepul, TPS3R, dan Refuse-Derived Fuel (RDF).
“Kami percaya kolaborasi adalah kunci menuju masa depan yang bebas sampah,” jelasnya.
Sustainability Delivery Lead Nestlé Indonesia, Maruli Sitompul, juga menyampaikan langkah-langkah konkret yang telah diambil perusahaan. Seperti penggunaan sedotan kertas di seluruh RTD (
ready-to-drink) dan mendesain kemasan mereka menjadi kemasan daur ulang (
monomaterial packaging).
Selain itu, Nestlé Indonesia juga melakukan pengumpulan sampah plastik sejumlah kemasan plastik yang mereka produksi atau pakai. Untuk ini, mereka bekerja dengan para pengepul, pendaur ulang, dan TPS3R.
Nestlé Indonesia juga mendukung infrastruktur pengelolaan sampah dengan 10 MRF/TPS3R di Karawang melalui kolaborasi dengan KSM Sahabat Lingkungan dan pemerintah lokal. TPS3R ini mampu melayani hingga 6.000 rumah tangga di sekitar Karawang.
“Nestlé Indonesia terus mengupayakan untuk mencari solusi kemasan yang berkelanjutan. Kami percaya bahwa dengan pendekatan yang tepat, keberlanjutan dan keamanan produk bisa berjalan seiring. Untuk itu diperlukan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak seperti
private sector, pemerintah, dan masyarakat,” ujar Maruli.
Di kesempatan yang sama, Public Affairs and Sustainability Director Aqua, Astri Wahyuni menyampaikan, ekosistem daur ulang di Indonesia terus berkembang di tengah tantangan seperti kualitas input dari sampah tercampur, harga produk RPET yang masih tinggi, dan kebutuhan insentif bagi pelaku.
“Saat ini, 75 persen produk Aqua sudah sirkular melalui galon guna ulang, lebih dari 96 persen kemasan dapat didaur ulang, dan seluruh produk mengandung hingga 25 persen material daur ulang. Aqua juga membangun berbagai infrastruktur daur ulang, mulai dari bank sampah hingga Recycling Business Unit (RBU)," ungkap Astri.
"Sebagai inovator kemasan 100 persen PET melalui Aqua Life sejak 2018, kami berharap pemerintah menyiapkan kebijakan yang memperkuat solusi sistemik dan menjamin kesempatan yang sama bagi pelaku industri daur ulang di Indonesia,” jelas Astri.
Melalui studi ini, SWI berharap dapat memperkuat fondasi kolaboratif dalam pengelolaan sampah plastik nasional yang lebih terintegrasi, inklusif, dan berkelanjutan.
BERITA TERKAIT: