Hal itu disampaikan Sekretaris Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik Zoelkifli kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (24/1).
"Pajak tinggi itu harusnya dikenakan ke masyarakat berpenghasilan tinggi (high class), jangan ke masyarakat menengah ke bawah," kata Taufik.
Taufik menekankan bahwa sektor hiburan di Jakarta tidak bisa sepenuhnya diidentikan dengan kegiatan beraroma maksiat.
"Anggapan hiburan "berbau" maksiat tidak sepenuhnya benar. Karena ada juga bisnis karaoke, spa di salon-salon, pijat, dan lain-lain yang masuk kategori kena pajak "hiburan" tapi bukan tempat maksiat, memang untuk hiburan semata," kata Taufik meluruskan.
Menurut Taufik, jenis hiburan itu senyatanya banyak yang masuk kelas ekonomi menengah bawah.
Selain itu, lanjut Taufik, banyak pengaduan atau keluhan warga yang berkecimpung di bisnis hiburan tersebut keberatan atas kenaikan pajak hiburan.
"Pengaduan juga disampaikan oleh para karyawan yang terancam kena PHK akibat kenaikan pajak hiburan. Perlu diingat mereka masuk kelompok ekonomi bawah yang harus diperhatikan pula oleh negara," kata Taufik.
Terkait menghindari atau menghilangkan kemaksiatan, sambung Taufik, babnya bukan di sektor pajak. Namun di pembentukan dan pelaksanaan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah, peraturan gubernur, dan regulasi lainnya, yang mengatur mana bisnis yang boleh dan tidak boleh dijalankan di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Seperti diketahui, Pemprov DKI Jakarta menaikkan pajak tempat hiburan di ibu kota menjadi 40 persen. Kebijakan itu mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Tertuang dalam Pasal 53 Ayat 2, besaran pajak itu berlaku untuk tempat karaoke, diskotek, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa.
Kenaikan tarif pajak tempat hiburan di Jakarta itu berlaku sejak 5 Januari 2024. Pada aturan sebelumnya, persentase pajak tempat karaoke dan diskotek hanya 25 persen.
Sementara untuk kegiatan usaha panti pijat dan mandi uap atau spa sebesar 35 persen.
BERITA TERKAIT: