"Pengisian posisi jabatan menjelang pelantikan gubernur-wakil gubernur terpilih jelas melanggar etika," kata Ketua Forum Bersama Jakarta (FBJ), Budi Siswanto, Jumat (26/5).
Selain itu, pelantikan pejabat tersebut juga berpotensi melanggar UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada jo UU Nomor 10 Tahun 2016, khususnya Pasal 71 serta Permendagri No 73 Tahun 2016.
"Sebaiknya pengisian posisi pejabat baru menunggu pelantikan gubernur-wakil gubernur baru, sehingga tidak ada kecurigaan pada pemimpin sebelumnya," ujar Budi dilnasir dari
RMOL Jakarta.
Kabarnya, sejumlah nama yang akan dilantik saat ini masih digodok di Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) DKI Jakarta.
Menurut Budi, apabila mereka dilantik saat ini, maka jika para pejabat baru itu menunjukkan kinerja tidak baik akan menjadi beban untuk gubernur-wakil yang akan datang.
Diketahui, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, telah menandatangani Permendagri No.73 Tahun 2016 tentang Pendelegasian Wewenang Penandatangani Persetujuan Tertulis untuk Melakukan Penggantian Pejabat di Lingkungan Pemerintah Daerah.
Permendagri itu dibuat dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (2), Pasal 71 ayat (4) dan Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU NOo.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU.
Dalam Permendagri itu ditegaskan, bahwa Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Permendagri yang diteken pada 22 September 2016 itu menyatakan bahwa Menteri berwenang memberikan persetujuan tertulis atas usulan permohonan Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud untuk penggantian pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama.
Terkait usulan permohonan tersebut, dalam Permendagri ini disebutkan, bahwa Menteri mendelegasikan kepada Direktur Jenderal Otonomi Daerah untuk memberikan persetujuan tertulis atas usulan permohonan Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud untuk penggantian pejabat administrasi dan pejabat fungsional.
Permendagri ini juga menyebutkan, Menteri berwenang memberikan persetujuan tertulis atas usulan permohonan Gubernur, Bupati atau Walikota sebagaimana dimaksud untuk penggantian pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama.
Atas kewenangan tersebut, Menteri mendelegasikan kepada Direktur Jenderal Otonomi Daerah untuk memberikan persetujuan tertulis atas usulan permohonan Gubernur, Bupati atau Walikota untuk penggantian pejabat administrasi dan pejabat fungsional. (Baca Juga: Ini Permendagri yang Beri Kewenangan Plt. Gubernur, Bupati/Walikota Teken APBD)
Ditegaskan dalam Permendagri ini, dalam melaksanakan wewenang yang didelegasikan sebagaimana dimaksud, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri bertanggungjawab kepada Menteri.
Parmendagri No.73 Tahun 2016 itu berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu tanggal 27 September 2016 oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Widodo Ekatjahjana.
[rus]
BERITA TERKAIT: