Sebab, peraturan tersebut dinilai justru menghina keberadaan RT/RW sebagai pengurus warga dengan posisi kerja sosial.
Sebab, RT/RW harus melaporkan pertanggungjawaban kerja melalui aplikasi Qlue seakan-akan perangkat desa tersebut dipaksa bekerja hanya untuk mendapatkan uang operasional sebesar Rp900 ribu per bulan.
"Itu kan menghina. Maka tak heran kalau mereka ramai-ramai keberatan dan mendatangi kami di Komisi A," ujar Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, Riano P. Ahmad saat dihubungi, Kamis (26/5).
Padahal, sambung dia, dari pertemuan beberapa pengurus RT/RW se-Jakarta tidak sedikit yang menyatakan bahwa sejatinya uang operasional yang dikeluarkan beberapa RT/RW di Jakarta melebihi yang didapatkan alias "nombok".
"Ini wajar karena kan mereka kerja sosial yang dipercaya warga untuk mengurusi lingkungan, belum kalau ada kebakaran, meninggal dunia, kegiatan sosial lainnya. Bagus mereka masih mau mengeluarkan uang pribadinya, sukur-sukur ada tambahan operasional, kok malah dibebani dengan Qlue ini," terang Riano.
Terlebih menurut pengakuan beberapa pengurus RT/RW, kata dia, merasa tersinggung lantaran dianggap layaknya tak memiliki kerja lain selain jabatan RT/RW.
Dengan begitu sesuai dengan aspirasi yang disampaikan puluhan perwakilan RT/RW se-Jakarta pada pertemuan dengan DPRD dan perwakilan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Komisi A sepakat untuk mendesak Gubernur agar mencabut SK Gubernur tersebut.
"Kami merekomendasikan agar Gubernur dan jajarannya mencabut SK tersebut dan dicarikan lagi formulasi lainnya demi pertanggungjawaban keuangan daerah untuk fungsi RT/RW," tutur Riano.
Siang tadi rombongan Ketua Rukun Warga (RW) dan Rukun Tangga (RT) di Jakarta menggeruduk DPRD DKI Jakarta. Mereka menuntut legislator DKI menindaklanjuti keluhan pengurus warga tentang kebijakan mengharuskan RT/RW melaporkan kinerja ke aplikasi Qlue.
Sejauh ini, jajaran RT/RW di DKI merasa keberatan dengan diharuskannya melaporkan kinerja ke aplikasi tersebut. Sebab, selain merepotkan lantaran tidak semua pengurus mengerti pengoperasian aplikasi berbasis telepon pintar, mereka merasa terhina karena kebijakan tersebut.
"Kita disuruh setor foto baru dapat uang operasional 900 ribu, kalau gak buat laporan gak dapat uang operasional, satu foto 10 ribu emang kita fotografer amatiran," ujar Mahmud Bujang, Ketua RW 1 Kelurahan Pinang Ranti, Jakarta Timur di Gedung DPRD DKI Jakarta.
[zul]
BERITA TERKAIT: