"Ada kesalahpahaman dari pemerintah dan sebagian masyarakat dalam memandang tembakau, dalam hal ini industri kretek," ujar Neta S Pane, salah satu tokoh yang menggugat pemberlakuan Undang-undang UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) mengomentari peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia kemarin.
Neta kembali mengingatkan, penerapan pajak ganda dalam UU PDRD terhadap industri tembakau, juga sangat tidak tepat. Pasalnya, tembakau itu bukan kategori barang mewah. Efek kebijakan itu tentu saja rakyat dirugikan karena harus membayar pajak dua kali.
Dampaknya, industri kretek di daerah sudah pasti akan makin tergerus.
"Ini sangat mengherankan, tembakau selalu saja dimusuhi. Akhirnya rokok luar bebas masuk," tegas Neta.
Harusnya pemerintah Jokowi melindungi tembakau dan menjadikan kretek punya saing tinggi seperti Kuba yang memperlakukan cerutu secara istimewa. Atau Prancis memperlakukan bisnis minuman anggur.
"Jokowi harus memperhatikan hal ini. Pajak cukai jangan selalu dikejar ke tembakau. Kejar juga pertambangan, sektor kehutanan, minuman beralkohol yang terbukti banyak selundupan," tandas Neta.
Dihubungi terpisah, Pernyataan senada juga diutarakan Koordinator Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) Zulvan Kurniawan. Ia menilai kampanye bahaya perokok pasif yang didengungkan oleh Kemenkes sejatinya masih debatable alias masih mengandung perdebatan baik secara medis atau ilmu pengetahuan. Apalagi jika kemudian dampak bagi perokok pasif hingga menyebabkan kanker.
Zulvan merujuk temuan Prof Sutiman Bambang Sumitro Guru Besar Biologi Sel Universitas Brawijaya Malang, Profesor Dr. Sutiman B. Sumitro, bersama ahli Kimia-Fisika senior Dr. Gretta Zahar dan tim yang terdiri dari ahli bidang kedokteran, Kimia dan Fisika.
Dari hasil risetnya, memang dalam asap rokok ada zat merugikan namun tidak bisa jadi faktor tunggal. Teori Prof Sutiman menyatakan, rokok menyebabkan kanker kebanyakan hanya hasil pengolahan data di rumah sakit, bukan di lapangan. Jadi, asal ada pasien mengidap kanker, dan kebetulan dia merokok, serta-merta rokok lah yang dituding sebagai penyebab tunggalnya.
Variabel-variabel lain yang terkait dengan gaya hidup si pasien, semisal 'asupan' polusi asap kendaraan, konsumsi MSG, dan sebagainya, diabaikan. Metode semacam itu jelas melanggar kaidah eksperimen ilmiah.
"Jangan lupa di sekitar kita banyak perokok aktif yang tetap sehat sampai lanjut usia," tegas Zulvan.
[wid]
BERITA TERKAIT: