Ada tiga tersangka yang mengajukan praperadilan, yakni JK selaku pemilik PT Pipit Mutiara Jaya, MY sebagai Direktur PT Pipit Mutiara Jaya, dan DRS sebagai Kepala Teknik Tambang PT Pipit Mutiara Jaya. Mereka sebelumnya ditetapkan tersangka oleh Dittipidter Bareskrim Polri.
Adapun sidang praperadilan hari ini, Jumat, 10 Oktober 2025, memasuki agenda penyerahan dokumen, yaitu berita acara pelimpahan perkara dari Kejari Bulungan ke PN Tanjung Selor. Ketiga pemohon meminta agar hakim menganulir penetapan tersangka dan meminta penghentian penyidikan serta mengembalikan barang-barang yang disita oleh Polri.
Dalam kasus tersebut, perusahaan PT PMJ juga telah divonis bersalah sebagaimana putusan nomor 154/Pid.Sus-LH/2024/PN Tjs, PN Tanjung Selor yang menyatakan PT PMJ terbukti bersalah melakukan penambangan tanpa izin di wilayah IUP/IPPKH PT Mitra Bara Jaya dan koridor negara dengan sanksi denda Rp50 miliar dan pidana tambahan denda sebesar Rp35 miliar.
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar memandang, pidana terhadap perusahaan dan pidana terhadap orang merupakan hal berbeda.
"Kalau perusahaannya sudah divonis bersalah, ya harus dijalankan hukuman bayar denda atau dicabut izin tambangnya, berbeda dengan orang," kata Abdul Fickar kepada wartawan, Jumat, 10 Oktober 2025.
Pandangan berbeda disampaikan Koalisi Kawali Lingkungan Indonesia Lestari (Kawali). Manager Hukum dan Kajian Publik DPN Kawali, Fatmata Juliansyah menyebut perusahaan tambang yang beroperasi di luar wilayah izin jelas melakukan tindak pidana lingkungan dan pertambangan.
Perbuatan tersebut melanggar UU 3/2020 tentang Minerba serta UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan begitu, wajar bila Pengadilan Tinggi Kaltara memutus bersalah, menutup perusahaan, dan menegaskan adanya kerugian negara.
"Dalam hal ini, penegakan hukum yang menjerat korporasi maupun para pengurusnya mencerminkan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang diakui dalam hukum Indonesia," jelas Fatmata.
BERITA TERKAIT: