Dokumen tersebut mencuat ke publik sebelum diunggah secara resmi ke sistem e-court maupun SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara), memicu dugaan pelanggaran etika dan integritas peradilan.
Putusan atas perkara Nomor: 7/G/2025/PTUN.JKT itu pertama kali beredar pada Selasa pagi, 30 Juli 2025 pukul 08.00 WIB, di grup WhatsApp KTKI. Pengunggahnya adalah Hidayat Agus Sabarudin, SST -- mantan anggota KTKI yang kini menjabat sebagai Ketua Kolegium Radiografer di Kementerian Kesehatan.
Padahal saat itu, dokumen belum ditandatangani Ketua Majelis Hakim dan belum dipublikasikan melalui kanal resmi pengadilan.
Hal ini menimbulkan tanda tanya besar dari berbagai pihak, termasuk penggugat dalam perkara tersebut.
Kuasa hukum KTKI, Yuherman dari Kantor Prof. Gayus Lumbuun & Asosiasi, menyatakan keheranannya terhadap beredarnya putusan lengkap tanpa tanda tangan hakim.
Hal senada diungkapkan Rachma Fitriati, salah satu penggugat dari Konsil Kesehatan Masyarakat.
"Putusannya belum diunggah di e-court dan belum diumumkan secara resmi, tapi sudah beredar di grup WhatsApp? Ini sangat janggal dan mencederai integritas pengadilan," kata Rachma dalam keterangannya, dikutip Sabtu 2 Agustus 2025.
Agus Budi Prasetyo, penggugat lain yang dulunya merupakan penata/perawat anestesi dan kini bekerja sebagai driver online di Yogyakarta, menyatakan kuasa hukum belum menerima salinan resmi dari panitera
Namun, justru orang luar yang bukan pihak prinsipal sudah lebih dulu memegang dokumen lengkap.
"Ini sangat aneh. Kami belum menerima salinan resmi, tapi ada pihak yang bukan penggugat justru sudah menyebarkannya. Ada apa ini?" tanya Agus.
Sri Sulistyati, APT, seorang apoteker yang juga termasuk penggugat, menyoroti bahwa sejak awal sidang, Ketua Majelis Hakim selalu menegaskan pentingnya menjaga integritas proses hukum.
Sri mempertanyakan mengapa keputusan sidang bisa bocor ke luar sebelum disahkan.
"Setiap sidang selalu ditegaskan bahwa tidak boleh menghubungi hakim atau aparatur di luar sidang. Tapi sekarang, malah keputusan belum sah bisa tersebar lebih dulu. Ini sangat melanggar etik," kata Sri.
Hingga kini belum ada tanggapan resmi dari PTUN Jakarta Timur maupun dari Hidayat Agus Sabarudin terkait dugaan penyebaran putusan tersebut secara tidak sah.
BERITA TERKAIT: