Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa malam (19/3), 7 anggota nonaktif Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur dituntut 6 bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider pidana kurungan 3 bulan.
Terdakwa 1 hingga 6 dituntut pidana penjara selama 6 bulan. Namun mereka tidak perlu ditahan apabila tidak mengulangi perbuatan atau melakukan tindak pidana lainnya selama 1 tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 dengan pidana penjara masing-masing selama enam bulan dengan ketentuan tidak perlu dijalani apabila yang bersangkutan dapat dalam masa percobaan selama satu tahun sejak putusan inkrah tidak mengulangi perbuatan atau tidak melakukan tindak pidana lainnya,” ucap Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung di PN Jakarta Pusat, Selasa malam (19/3).
Adapun nama-nama terdakwa 1 hingga 6 tersebut adalah Ketua PPLN Kuala Lumpur, Umar Faruk; Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Keuangan, Tita Octavia Cahya Rahayu; Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Data dan Informasi, Dicky Saputra.
Lalu, Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi SDM, Aprijon; Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Sosialisasi, Puji Sumarsono; dan Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu, A. Khalil.
Khusus terdakwa 7, yakni Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Logistik Masduki Khamdan Muchamad, dituntut pidana penjara 6 bulan dengan perintah penahanan.
“Khusus terdakwa tujuh, Masduki, pidana penjara selama 6 bulan dikurangkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa tujuh dengan perintah agar dilakukan penahanan rutan,” lanjut jaksa.
Dalam tuntutannya, Jaksa menilai tujuh terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan kesatu, yakni sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memalsukan data dan daftar pemilih baik yang menyuruh, yang melakukan, atau yang turut serta melakukan.
Sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 544 Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Adapun hal-hal memberatkan yang dipertimbangkan jaksa dalam menjatuhkan tuntutan adalah para terdakwa selaku penyelenggara pemilu tidak melaksanakan tugas sesuai ketentuan yang berlaku.
Sementara Masduki dinilai telah menyalahgunakan kewenangan dalam perekrutan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) Luar Negeri Kuala Lumpur, sehingga terdapat pantarlih fiktif yang menyebabkan pelaksanaan pencocokan data pemilih tidak maksimal.
“Dan terdakwa tujuh (Masduki) tidak memenuhi panggilan penyidik dan ditetapkan sebagai DPO,” imbuh jaksa.
Sedangkan hal-hal yang meringankan adalah hasil rangkaian tindak pidana yang diperbuat oleh para terdakwa, mulai dari penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sampai dengan pemungutan suara, telah dianulir dan dinyatakan tidak sah oleh KPU RI atas rekomendasi Bawaslu RI dan dilaksanakan pemungutan suara ulang.
Hal meringankan lainnya, para terdakwa telah dinonaktifkan sebagai ketua maupun anggota PPLN Kuala Lumpur, para terdakwa, kecuali Masduki, dinilai kooperatif dan tidak berbelit-belit.
“Para terdakwa sebagian besar merupakan mahasiswa atau mahasiswi yang sedang menempuh kuliah S3 di Malaysia. Para terdakwa kecuali terdakwa dua dan terdakwa tiga mempunyai tanggungan keluarga, istri, dan anak,” imbuh jaksa.
Dalam perkara ini, 7 anggota nonaktif PPLN Kuala Lumpur didakwa memalsukan data dan daftar pemilih luar negeri Pemilu 2024 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Jaksa meyakini para terdakwa memasukkan data yang tidak benar dan tidak valid karena tidak sesuai hasil coklit ke dalam Data Pemilih Sementara (DPS), menjadi DPS Hasil Perbaikan (DPSHP), dan kemudian ditetapkan menjadi DPT.
Para terdakwa juga memindahkan daftar pemilih metode Tempat Pemungutan Suara (TPS) ke metode Kotak Suara Keliling (KSK) dan Pos dalam kondisi data dan alamat pemilih yang tidak jelas atau tidak lengkap.
BERITA TERKAIT: