Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Profesor Suparji Ahmad mengatakan, pelimpahan berkas perkara kasus dugaan korupsi berupa pemerasan, gratifikasi, dan suap pada tahap satu dari penyidik ke Kejaksaan Tinggi Jakarta, tidak menyebabkan gugurnya praperadilan.
"Sehingga Hakim praperadilan dapat mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan FB untuk membatalkan penetapan tersangka oleh penyidik," kata Suparji dalam keterangannya yang diterima
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (18/12).
Suparji menjelaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat, bahwa hakikat dari perkara permohonan praperadilan adalah untuk menguji apakah ada perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP dan putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014, dan perlindungan hak asasi manusia dari tersangka.
"Sehingga tidaklah adil apabila ada permohonan praperadilan yang pemeriksaannya sudah dimulai atau sedang berlangsung menjadi gugur hanya karena perkara telah dilimpahkan dan telah dilakukan registrasi oleh pengadilan negeri. Padahal ketika perkara permohonan praperadilan sudah dimulai atau sedang berjalan, hanya diperlukan waktu paling lama 7 hari untuk dijatuhkan putusan terhadap perkara permohonan praperadilan tersebut," jelas Suparji.
Suparji menerangkan, Pasal 82 Ayat 1 huruf d KUHAP dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, agar tidak terjadi dualisme hasil pemeriksaan, yaitu antara pemeriksaan yang sah yang dilakukan penyidik dan penuntut umum dengan pemeriksaan yang diduga adanya tindak pidana yang dilakukan oleh pemohon sehingga diajukan praperadilan.
Oleh karena itu, demi kepastian hukum dan keadilan, perkara praperadilan dinyatakan gugur ketika perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap perkara pokok yang dimohonkan praperadilan.
Suparji mengatakan, MK membedakan antara perkara praperadilan yang diperiksa pada saat sidang prapradilan dengan perkara pokok yang diperiksa pada saat setelah sidang pertama dibuka. Bagaimanapun, pada hakikatnya, tidak boleh ada satu perkara pidana yang diperiksa secara bersamaan, yakni diperiksa di praperadilan sekaligus juga diperiksa pada saat setelah sidang pertama.
Apabila sidang pertama dimulai kata Suparji, maka permohonan praperadilan menjadi gugur. Putusan MK nomor 102/PUU-XIII/2015 tersebut bersifat erga omnes, yakni berlaku sebagai UU
"Maksud norma sidang pertama, secara normatif, makna sidang pertama dijelaskan dalam Pasal 152 Ayat 1 KUHAP yang menyatakan, dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu menetapkan hari sidang," tutur Suparji.
Selanjutnya dalam Pasal 152 Ayat 2 KUHAP menyatakan bahwa, Hakim dalam menetapkan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang pengadilan.
"Dengan demikian, makna sidang pertama adalah hari sidang yang pertama kali dilaksanakan berdasarkan surat penetapan hakim. Ketika hakim menjatuhkan palu sidang sebanyak 3 kali maka sekaligus itulah tanda kepastian hukum gugurnya praperadilan yang dimohonkan oleh tersangka. Sebab, itulah tanda suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri," pungkas Suparji.
Untuk itu, praperadilan yang diajukan Firli selaku pemohon melawan Kapolda Metro Jaya selaku termohon tidak bisa dinyatakan gugur, mengingat putusan praperadilan akan disampaikan Hakim Tunggal Imelda Herawati pada Selasa sore (19/12) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sementara itu, pelimpahan berkas perkara tahap I dari penyidik Polda Metro Jaya kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta baru dilaksanakan pada Jumat (15/12). Sehingga, Jaksa akan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan berkas perkara tersebut sebelum berlanjut ke tahap 2.
BERITA TERKAIT: