Audit BPK Tidak Boleh Kesampingkan Asas Asersi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/widian-vebriyanto-1'>WIDIAN VEBRIYANTO</a>
LAPORAN: WIDIAN VEBRIYANTO
  • Jumat, 30 Agustus 2019, 15:36 WIB
Audit BPK Tidak Boleh Kesampingkan Asas Asersi
Gedung BPK/Net
rmol news logo Pemeriksaan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan tidak boleh sembarangan. Setidaknya ada tiga unsur yang harus dipenuhi.

Gurubesar hukum administrasi negara dari Universitas Padjadjaran, I Gde Pantja Astawa menguraikan bahwa unsur yang pertama adalah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini BPK.

Unsur yang kedua, pemeriksaan harus memperhatikan dan menjadikan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan.

"Ketiga, harus memperhatikan satu prinsip, yaitu asas asersi," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi, Jumat (30/8).

Asas asersi mewajibkan auditor memeriksa pihak yang diperiksa. Apapun jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, pihak terperiksa harus dikonfirmasi. Dengan kata lain, pihak yang diperiksa punya kesempatan mengkaji, menelaah, dan membela diri.

Asas ini, kata Pantja, mutlak alias tidak bisa ditawar lagi dalam suatu pemeriksaan jenis apapun sebagaimana diatur dalam UU BPK.

"Ada ketentuannya. Asas asersi ini mutlak sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (5) UU BPK," terangnya.

Mantan anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK itu menegaskan bahwa segala bentuk LHP tidak akan sah jika tidak memenuhi satu di antara ketiga unsur tersebut.

"Kalau asas asersi ini tidak dipenuhi, saya berani katakan LHP dinyatakan batal demi hukum," tegasnya.

Pernyataan ini sekaligus membantah ucapan calon pimpinan KPK yang berasal dari BPK, I Nyoman Wara. Nyoman menyatakan audit BPK 2017 terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung sudah sesuai standar dan memang ada kerugian negara.

Sekalipun, dalam pengakuannya, Nyoman mengatakan bahwa audit BPK 2017 itu dilakukan tanpa konfirmasi terhadap pihak terperiksa. Dasar pandangannya, audit investigasi tidak perlu meminta tanggapan pihak terperiksa karena bersifat rahasia.

Namun bagi Pantja, pernyataan itu salah kaprah. Sebab, SPKN terdiri dari Kerangka Konseptual Pemeriksaan dan Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP). Adapun PSP terdiri dari tiga bagian, yaitu PSP 100 tentang Standar Umum, PSP 200 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, dan PSP 300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan.

Sementara pernyataan Nyoman hanya didasarkan pada PSP 300 paragraf 17, dimana untuk hasil akhir pemeriksaan dalam bentuk investigatif yang dituangkan dalam LHP memang tidak diperlukan tanggapan.

"Namun dalam proses pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dikemukakan pasal 6 ayat (5) UU BPK dan peraturan BPK 1/2017, yakni pada PSP 100 dan PSP 200, klarifikasi dan konfirmasi wajib dilakukan karena itu merupakan esensi dari suatu audit," terangnya.

"Bagaimana menyajikan LHP secara seimbang jika tidak melakukan konfirmasi dan klarifikasi terhadap pihak terperiksa? Adalah sangat berbahaya apabila BPK dalam auditnya dibenarkan menyimpulkan pihak terperiksa telah merugikan keuangan negara tanpa melakukan konfirmasi dan klarifikasi kepada pihak yang diperiksa," demikian Pantja. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA