Begitu kata Jurubicara KPK, Febri Diansyah kepada wartawan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (30/7).
"Kami sudah mengidentifikasi bahwa dugaan suap ini memang dilakukan untuk keuntungan korporasi yang mendapatkan izin di sana," kata Febri.
Namun KPK belum bisa menyimpulkan dugaan keterlibatan korporasi, dalam hal ini Lippo Grop. Sebab, proses penyidikan kasus Meikarta masih berjalan.
"Apakah korporasi terlibat atau tidak terlibat, saat ini tentu belum bisa kami simpulkan karena baru 11 orang yang diproses," ungkap Febri.
Dari sejumlah bukti yang dikantongi KPK, dugaan keterlibatan pihak Lippo Group pada perkara suap Meikarta sangat erat kaitannya, mengingat perusahaan yang menggarap proyek Meikarta adalah grup tersebut.
"Dalam penanganan perkaranya, kami sudah melihat bagaimana posisi orang-orang tersebut apakah dia sebagai personifikasi dari korporasi, atau dia menjalankan tugasnya sebagai pelaksana tugas resmi dari korporasi atau berjalan sendiri sebagai personel saja," sambungnya.
"Tapi KPK memastikan pengembangan perkara akan terus dilakukan," demikian Febri menegaskan.
Teranyar, Sekda Jabar Iwa Karniwa diduga menerima suap senilai Rp 900 juta dari pihak PT Lippo Cikarang melalui Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi Nurlaili, terkait pembahasan substansi Raperda tentang Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2017 silam.
Selain Iwa, KPK juga menjerat Mantan Presiden PT Lippo Cikarang, Bartholomeus Toto sebagai tersangka. Bartholomeus diduga menyetujui setidaknya lima kali pemberian pada Bupati Bekasi Neneng Hasanah, baik dalam bentuk Dollar Amerika Serikat (AS) maupun Rupiah dengan total Rp 10,5 Miliar.
Penetapan tersangka Sekda Jabar dan Eks Presdir Bartholomeus ini merupakan pengembangan perkara yang sudah menjatuhkan hukuman pidana sejumlah pihak.
Diantaranya mantan Bos Lippo Group, Billy Sindoro dan Bupati Bekasi Neneng Hasanah, hingga Kabid Penata Ruang di Dinas PUPR Bekasi, Neneng Rahmi.
BERITA TERKAIT: