Menteri Tjahjo Jangan Omdo

Soal Kepala Daerah Terpilih Tidak Berbisnis

Senin, 30 April 2018, 10:26 WIB
Menteri Tjahjo Jangan Omdo
Tjahjo Kumolo/Net
rmol news logo Imbauan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo agar kepala daerah terpilih dalam Pilkada tidak berbisnis saat menjabat menuai kritikan. Tjahjo diminta tak sering kasih imbauan. Karena, imbauan itu sukarela, bisa dilaksanakan dan bisa tidak.

Direktur Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai, Menteri Tjahjo seharusnya tidak sekadarmengimbau calon kepala atau­pun kepala daerah terpilih untuk tidak berbisnis saat men­jabat. Sebab imbauan sifatnya sukarela.

Jalan terbaik untuk menghin­dari calon kepala ataupun kepala daerah terpilih untuk berbisnis, saran dia, adalah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) terkait Larangan Berbisnis.

Di dalam aturan itu nanti dibuat aturan main sekaligus sanksi tegas kepada kepala daerah yang sudah dilantik ketahuan berbisnis.

"Ya, haram mencampuraduk­kan posisinya dan kewenangan­nya untuk kepentingan ekonomi bisnis pribadinya. Jadi jangan imbauan atau wacana gitulah. Buatkan aturannya lebih bagus supaya tidak ada conflict of interest dari kepala daerah," ujar Uchok kepada Rakyat Merdeka.

Menurut Uchok, aturan main semacam Peremendagri sangat penting karena Undang-undang (UU) belum mengatur soal larangan kepala daerah untuk berbisnis. Akibatnya, peluang atau celah kepala daerah untuk terjun ke dunia bisnis sangat terbuka lebar.

Saat ini, ungkap Uchok, banyak kepala daerah mencam­puradukkan kewenangannya dengan kebutuhan ekonomi pribadi. Strateginya beragam, mulai dari membuat syarat le­langan pemda yang hanya bisa dipenuhi perusahaan keluarga hingga meminjam bendera pe­rusahaan lain untuk memenang­kan lelang.

Uchok berharap, larangan calon kepala daerah terpilih untuk berbisnis, tidak sekadar imbauan. Tapi, bisa betul-betul dipayungi secara hukum.

"Saya punya harapan sama (dengan Mendagri) agar tidak ada konflik kepentingan dari kepala daerah karena berbisnis saat menajabat. Tapi untuk mewujud­kan itu kan butuh aturan yang jelas," tuntasnya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menilai, konflik kepentingan memang jadi akar perilaku koruptif. Masalah ini menyebabkan kepala daerah tak bertugas sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Alhasil, ada unsur lain pada pengambilan kebijakan.

"Hati nggak sesuai denganpikiran. Pikiran nggak sesuaiperbuatan. Itu conflict of interest, nggak sesuai integritas," ungkap Saut.

Saut menyebut, ciri-ciri adanya konflik kepentingan itu mudah dipahami. Tapi umumnya tercermin dari kinerja kepala daerahnya.

"Politik itu inti untuk memban­gun kesejahteraan. Ketika nggak bisa dibangun itu kesejahteraan, itu pasti penyebabnya konflik kepentingan," jelasnya.

Disebutkan, indeks korupsi di Indonesia masih berada di peringkat ke 37. Peringkat ini masih bertahan alias tidak naik tapi tidak turun. Sementara, pelaksanaan pemilu di Indonesia mendapat ponten 30 dari 100.

Untuk itu, ia berharap, calon kepala daerah bisa menghindari konflik kepentingan pasca dilan­tik. KPUharus bisa mengajak pemilih menentukan pilihannya sesuai hati nurani.

"Masyarakat harus lihat calonnya. Latar belakanganya bagaimana, pelajari dan segala macamnya," tandasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA