Usai diperiksa selama sekitar lima jam, Sukardi menjelaskan MSAA merupakan mekanisme pembayaran tagihan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di luar jalur hukum. Keputusan tersebut diambil secara politis. Pasalnya, saat itu Indonesia mengalami krisis ekonomi yang butuh penyelesaian secara cepat. Di samping itu, bila dipaksakan membawa masalah utang para obligor ke pengadilan maka pemerintah bisa kalah.
Setidaknya ada tiga mekanisme yang ditawarkan pemerintah, yakni Master Of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan/atau Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta Pengakuan Utang/APU).
"Pada waktu itu juga diharapkan penyelesaian yang cepat karena perekonomian dan kondisi keuangan kita lagi parah. Mungkin anda masih kecil tahun 1999," bebernya di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (26/7).
Lebih lanjut, menurut Sukardi, keputusan penyelesaian menarik utang para obligor BLBI di luar jalur hukum terus dilakukan dari masa Presiden BJ. Habibie hingga Presiden Megawati Soekarnoputri.
Hal tersebut didasari UU Nomor 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional, Ketetapan MPR Nomor VI/MPR tahun 2002 dan TAP MPR Nomor X/MPR tahun 2001 hingga terbitnya Inpres Nomor 8/2002 untuk mengejar obligor BLBI.
Sukardi mengatakan, aturan-aturan tersebut dibuat agar presiden konsisten menerapkan mekanisme MSAA kepada para obligor BLBI, salah satunya adalah Sjamsul Nursalim.
"Bisa saja waktu itu menggunakan pendekatan tindak pidana korupsi, kredit macet, semua dipenjarakan. Tapi pada waktu itu kondisi peradilan kita masih belum kuat makanya dilakukan out of consettlement," jelasnya.
Disinggung mengenai adanya penyimpangan dalam penerapan kebijakan tersebut, Sukardi enggan berkomentar. Menurutnya, hal tersebut sedang diteliti oleh KPK, termasuk dugaan penyimpangan yang terjadi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas BLBI kepada Sjamsul Nursalim.
Nursalim memilih pembayaran tagihan utang dengan mekanisme MSAA. Bos PT Gajah Tunggal Tbk. itu diketahui mendapat kucuran BLBI sebesar Rp 28,40 triliun.
"Saya tidak akan membuka materi penyidikan. (Soal penyimpangan) itu tugas KPK, saya tidak bisa ngomong," kilah Sukardi.
KPK sendiri tengah menelusuri dugaan penyimpangan dalam pemberian SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim yang dilakukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). KPK menemukan indikasi kerugian negara dalam penerbitan SKL yang dilakukan Syafruddin Tumenggung sebesar Rp 3,7 triliun. Padahal, berdasarkan temuan KPK, Sjamsul Nursalim masih memiliki kewajiban sejumlah Rp 4,8 triliun. Pengusaha yang kini sudah menetap di Singapura itu dinilai baru membayar tagihan lewat penyerahan aset yang nilainya hanya Rp 1,1 triliun.
KPK baru menetapkan mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka korupsi penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim. Tindakan Syafruddin dianggap merugikan negara hingga Rp 3,7 triliun.
Syafruddin memberikan SKL kepada Sjamsul Nursalim pada April 2004. Penerbitan SKL dilakukan selang beberapa hari sebelum BPPN benar-benar mengakhiri tugasnya per 30 April 2004, berdasarkan Keppres Nomor 15/2004 yang diteken Megawati Soekarnoputri.
KPK juga sudah melayangkan surat panggilan untuk Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim. Namun keduanya mangkir dari panggilan tanpa kabar.
[wah]
BERITA TERKAIT: