Kondisi Kota Marawi masih mencekam setelah dikuasai gerilyawan Maute, ektrimis yang berafiliasi dengan ISIS, Selasa pekan lalu. Seperti dilaporkan Reuters, dua ribuan warga sipil masih terjebak di kota tersebut. Puluhan warga lainnya dilaporkan disandera dan diancam akan dipenggal. Para sandera ini meminta Presiden Rodrigo Dueterte menghentikan sementara operasi militer melawan Maute.
Namun Dueterte bergeming. Sampai kemarin, operasi militer di Marawi terus berlanjut bahkan kekuatan yang diterjunkan makin besar. Kemarin misalnya, militer Filipina melepaskan serangan udara untuk bisa menguasai kembali kota Muslim di Filipina itu. Dalam pertempuran selama sepekan, 89 gerilyawan dilaporkan tewas. Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana, seperti dilansir
Reuters mengatakan para militan yang tewas itu berasal dari sejumlah negara seperti Arab Saudi, Malaysia, Indonesia, Yaman dan Cechnya. Setidaknya ada 8 orang warga asing yang tewas dalam pertempuran. Adapun 21 personel militer dan 19 warga sipil dilaporkan tewas sampai Rabu kemarin.
Menghadapi konflik bersenjata tersebut, Gatot tak tinggal diam. Daerah-daerah perbatasan Filipina-Indonesia diperketat penjagaannya agar para milisi yang sedang dikejar-kejar militer Filipina tak nyebrang ke Indonesia. Maklum, jarak Indonesia-Filipina tak jauh. Jarak dari pulau terluar, Miangas, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara ke Filipina hanya berjarak 48 mil atau sekitar 60 kilometer.
Gatot mengaku telah menginstruksikan jajarannya melakukan patroli keamanan di sekitar perbatasan Filipina-Indonesia. Wilayah yang ditingkatkan pengamanannya antara lain di Halmahera Utara, Pulau Morotai, Sangihe, Marore, sampai ke Laut Sulawesi. "Kami juga mengkoordinasi nelayan-nelayan dengan angkatan laut di sepanjang pesisir pantai," kata Gatot kepada wartawan di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, kemarin.
TNI juga, lanjut Gatot, telah mengerahkan Babinsa dan pasukan-pasukan yang ada dan operasi intelijen di wilayah perbatasan Indonesia-Filipina. "Saya tidak sampaikan berapa banyak termasuk kapal laut dan sebagainya. Tapi cukup banyak," ungkapnya.
Soal WNI yang masih terjebak di Marawi, Gatot belum bisa berbuat banyak. Soalnya, menurut dia, TNI tidak bisa mencampuri kedaulatan negara lain. "Kita mengkoordinasikan saja. Nanti evakuasi oleh AFP (angkatan bersenjata Filipina)," jelasnya
Sementara, soal perkembangan terorisme di Tanah Air, Gatot berharap revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme segera rampung. Menurut dia, sangat berbahaya jika Indonesia masih menggunakan undang-undang terorisme yang berlaku saat ini. "Kalau kita masih menggunakan undang-undang seperti itu kita tinggal tunggu saja teroris akan berpesta di sini karena tempat paling aman di sini," ujar Gatot.
Gatot menjelaskan, Undang-Undang Terorisme yang berlaku saat ini dibuat untuk memudahkan dan mempercepat penyelidikan dan penyidikan kasus bom Bali. Dalam aturan tersebut dijelaskan berlaku hukum material, artinya aparat baru bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan ketika ada kejadian. Seharusnya, hukum yang digunakan merupakan hukum formal. "Kalau ingin kita aman, ingin anak cucu kita aman ya kita harus benar-benar (serius). Teroris adalah kejahatan negara," tuntasnya.
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Al Chaidar mengatakan, pemerintah memang harus mewaspadai kemungkinan para kelompok Maute loncat ke Indonesia. Menurut dia, kelompok tersebut bukan saja menyebrang untuk menyelamatkan diri tapi sangat terbuka kemungkinan membuka medan perang baru.
Al Chaidar menyebut, kemungkinan yang terakhir itu sangat besar jika kelompok yang berafiliasi dengan ISIS itu memenangkan pertempuran di Marawi. "Pemerintah harus membuat borde di seluruh perbatasan," kata Al-Chaidar saat dikontak, kemarin.
Selain itu, analisa dia, ada ratusan WNI yang berangkat ke Marawi untuk berjihad. Mereka adalah jaringan Mujahiddin Indonesia Timur (MIT), sisa-sisa kelompok Abu Sayyaf. ***
BERITA TERKAIT: