Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Hukum Penodaan Agama Harus Tetap Ada, Tidak Perlu Dihapus

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yusril-ihza-mahendra-5'>YUSRIL IHZA MAHENDRA</a>
OLEH: YUSRIL IHZA MAHENDRA
  • Rabu, 17 Mei 2017, 20:16 WIB
Hukum Penodaan Agama Harus Tetap Ada, Tidak Perlu Dihapus
Yusril Ihza Mahendra/net
DI negara demokrasi, setiap warga negara mempunyai hak untuk menyampaikan pikiran dan pendapat karena hal itu dijamin oleh konstitusi kita, UUD 45. Termasuk pula hak untuk menyuarakan penghapusan pasal-pasal penodaan dan penistaan agama sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1/PNPS/1965 dan Pasal 156 serta Pasal 156a KUHP.

Namun, setiap warga negara berhak pula menyuarakan aspirasi sebaliknya, yakni mempertahankan ketentuan hukum yang mengatur penodaan dan penistaan agama itu, bahkan mengubah sanksinya menjadi lebih berat lagi.

Tahun 2009, pernah ada sekelompok orang yang meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU 1/PNPS/1965 itu. Kalau sekiranya permohonan itu dikabulkan maka praktis ketentuan Pasal 156a KUHP juga hapus, karena keberadaan Pasal 156a itu justru dimasukkan oleh UU 1/PNPS/1965 ke dalam KUHP.

Namun permohonan itu ditolak seluruhnya oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009. MK dalam pertimbangan hukumnya berpendapat pasal-pasal penodaan dan penistaan agama dalam UU 1/PNPS/1965 itu sejalan dengan UUD 45 yang menjunjung tinggi keberadaan agama. Karena itu, setiap bentuk penodaan dan penistaan terhadap agama wajib diberi sanksi pidana.

Saya sepenuhnya sependapat dengan MK. Bahwa rumusan norma pasal-pasal dalam UU 1/PNPS/1965 dan Pasal 156 serta 156a perlu disempurnakan agar lebih menjamin keadilan dan kepastian hukum serta mempertimbangkan perkembangan zaman, saya sepenuhnya sependapat. Namun menghapuskan begitu saja aturan-aturan tersebut tanpa ada penggantinya yang lebih baik adalah suatu kecerobohan. Dalam suasana kevakuman hukum seperti itu, bukan mustahil perbuatan penodaan dan penistaan terhadap agama akan merajalela dan negara tidak bisa berbuat apa-apa untuk menindaknya.

Agama adalah fenomena universal. Banyak negara, termasuk negara yang secara resmi sekuler juga memberikan sanksi bagi mereka yang menista agama. Di Philipina misalnya, meski konstitusinya mengatakan bahwa Philipina adalah negara sekuler, penistaan agama tetap diberi sanksi pidana. Apalagi bagi negara kita yang berdasarkan Pancasila, kedudukan agama sangat fundamental.

Pembukaan UUD 45 dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia hanyalah bisa terjadi berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Pasal 29 UUD 45 dengan tegas pula menyatakan bahwa negara kita berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Karena agama-agama itu dipeluk, diyakini dan diamalkan oleh pemeluk-pemeluknya dan kita menyadari adanya perbedaan ajaran agama-agama itu maka tugas negara adalah melindungi agama-agama itu, termasuk dari setiap bentuk penodaan dan penistaan. Bentuk perlindungan dari sudut hukum antara lain adalah memberikan ancaman sanksi pidana bagi barang siapa yang melakukannya.

Karena itu, dari sudut filsafat hukum, sosiologi hukum maupun hukum tata negara, keberadaan ketentuan-ketentuan pidana terhadap perbuatan penodaan dan penistaan agama tetaplah merupakan sesuatu yang perlu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. [***]

Penulis adalah Ketua umum Partai Bulan Bintang, mantan Menteri Hukum dan HAM

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA