Kasus-kasus HAM Lalu Kudu Masuk Peradilan

Jumat, 03 Februari 2017, 08:27 WIB
Kasus-kasus HAM Lalu Kudu Masuk Peradilan
Foto/Net
rmol news logo Pemerintah yang diwakili Kemenko Polhukam telah melakukan rapat koordinasi dengan Komnas HAM terkait upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Dari pertemuan tersebut, pemerintah memutuskan men­empuh jalur non-yudisial yakni rekonsiliasi untuk kasus-kasus tersebut. Kalangan aktivis menilai pilihan tersebut tidak sesuai dengan janji politik Presiden Jokowi.

Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengata­kan, pihaknya menyayangkan dan mempertanyakan lang­kah yang diambil pemerintah terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.

"ICJR menilai, pemerintah tidak memiliki alasan yang cukup kuat untuk menempuh jalur non-yudisial tanpa adanya kejelasan proses yudisial, ter­lebih lagi hanya didasarkan pada alasan pilihan politik," katanya di Jakarta.

Pilihan untuk menempuh jalur non-yudisial justru meng­ingkari janji politik Presiden Jokowi yang ingin menyele­saikan kasus-kasus pelangga­ran HAM masa lalu. Erasmus menerangkan, berdasarkan UU no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) dapat membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus pelanggaran HAM.

"Perlu untuk dipahami bah­wa pada dasarnya penyelidikan Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, telah selesai diselidiki Komnas HAM seba­gai penyelidik berdasarkan UU Pengadilan HAM pada Maret 2002," ujarnya.

Namun sampai saat ini, Jaksa Agung belum menjalankan amanat UU Pengadilan HAM dengan melakukan penyidikan yang layak terhadap kasus-kasus tersebut.

ICJRmenilai, hasil penye­lidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM seharusnya cukup untuk menaikkan kasus-kasus tersebut ke proses pe­nyidikan. "Belum lagi karena baik korban, saksi dan pelaku pada dasarnya masih hidup dan lebih dari cukup untuk memberikan keterangan dalam proses peradilan," imbuhnya.

Erasmus mengingatkan, ketidakjelasan proses hukum terkait kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II dapat di­artikan sebagai tindakan me­langgengkan praktik impunitas dan mengkhianati perjuangan Hak Asasi Manusia.

Lebih dari itu, ICJR menganggap bahwa tindakan Pemerintah melalui Jaksa Agung sebagai tindakan unwilling atau tidak ada kemauan. Buktinya, pemerintah melalui Jaksa Agung enggan untuk menerus­kan proses peradilan pidana dalam kasus pelanggaran berat HAM padahal memiliki ke­mampuan untuk itu.

"ICJR pada dasarnya men­dukung langkah-langkah re­konsiliasi, namun tanpa adanya pengungkapan kebenaran ter­lebih dalam jalur yudisial dengan seluruh kemampuan yang saat ini dimiliki oleh pemerintah, maka pemerintah dapat diang­gap lari dari tanggung jawab kemanusiaan," tandasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyatakan 7 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diselesaikan melalui jalur nonyudisial. Menurutnya, kasus-kasus HAM masa lalu, seperti kasus 1965, sulit di­lanjutkan proses yudisialnya. Apalagi kasus-kasus tersebut telah terjadi puluhan tahun yang lalu. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA