Misalnya dengan membentuk Tim Gabungan yang terdiri dari unsur Kejaksaan Agung, Komnas HAM, TNI/Polri, pakar hukum dan unsur masyarakat untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, salah satunya terkait peristiwa G30S/PKI.
Selain itu juga telah dilakukan pendalaman tentang peristiwa tersebut dengan pendekatan yudisial.
Menko Polhukam Wiranto menjelaskan dari kajian hukum pidana peristiwa tersebut termasuk dalam kategori "the principle clear and present danger". Yaitu, negara dapat menyatakan dalam keadaan bahaya dan nyata, maka tindakan yang terkait
national security merupakan tindakan penyelamatan.
"Dari peristiwa tersebut juga dapat berlaku adagium 'abnormoal recht voor abnormoale tijden', tindakan darurat untuk kondisi darurat (abnormal) yang dapat dibenarkan secara hukum dan tidak dapat dinilai dengan karakter hukum masa sekarang," ungkapnya.
Selanjutnya melalui konsultasi dan koordinasi (bedah kasus) antara penyelidik Komnas HAM dan penyidik Kejaksaan Agung yang ternyata menemui hambatan yuridis, terutama yang menyangkut pemenuhan alat bukti yang cukup (
beyond reasonable doubt).
"Terdapat kesulitan untuk terpenuhinya standar pembuktian sebagaimana dimaksud dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," ucap mantan Panglima ABRI ini.
Dengan demikian untuk menyelesaikannya diarahkan melalui cara-cara non-yudisial. Hal ini karena mempertimbangan kepentingan nasional dan semangat kebangsaan yang membutuhkan kebersamaan dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa depan.
Karena itu Wiranto berharap tidak ada nuansa saling salah menyalahkan, tidak lagi menyulut kebenciaan atau dendam sikap/keputusan pemerintah dibenarkan oleh hukum dan dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan ekses negatif yang berkepanjangan.
"Ajakan pemerintah untuk menjadikan peristiwa tersebut sebagai pembelajaran bagi Bangsa Indonesia agar di masa kini dan masa depan peristiwa semacam itu tidak terulang lagi," tegasnya.
Selanjutnya pemerintah mengeluarkan tiga sikap politik terkait peristiwa.
Pertama, bahwa pada tahun 1965 dan tahun sebelumnya telah terjadi perbedaan secara ideologis politis yang berujung pada makar, sehingga menimbulkan kemunduran dan kerugian besar bagi Bangsa Indonesia.
Kedua, Pemerintah merasa prihatin atas jatuhnya korban dalam peristiwa tahun 1965 dan secara bersungguh-sungguh berusaha menyelesaikan dugaan terjadinya pelanggaran HAM Berat tersebut melalui proses non-yudisial yang seadil-adilnya agar tidak menimbulkan ekses yang berkepanjangan.
Ketiga, Pemerintah mengajak dan memimpin seluruh Bangsa Indonesia dengan mengedepankan ideologi Pancasila untuk bersama-sama merajut kerukunan bangsa agar peristiwa tersebut tidak terulang lagi di masa kini dan masa yang akan datang.
[zul]
BERITA TERKAIT: