kontrak pengelolaan Terminal Peti Kemas Jakarta (JICT).
0"Hasil rapat Pansus dengan Tjipta Lesmana, banyak ditemukan pemahaman yang sama seperti yang disampaikan. Dari beberapa dialog yang dilakukan, ada banyak pelanggaran yang dilakukan Pelindo II, yang dilakukan secara personal atau pribadi ataupun yang dilakukan secara kelembagaan," jelas anggota Pansus Nizar Zahro kepada redaksi di Jakarta, Kamis (26/11).
Nizar lalu membagi pelanggaran yang ada ke dalam tiga poin. Pertama, melanggar sumber hukum yang telah
ditetapkan di Undang-Undang Nomor 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Di urutan teratas, adalah UUD 1945 khususnya pasal 33 Ayat 1, yang menekankan 'cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Lalu ayat 2 yang menegaskan bahwa 'bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat'.
Urutan selanjutnya, prinsip di UUD 194 diturunkan ke UU 17/2008 tentang Pelayaran. Dimana
pasal 34, disebutkan pengelolaan pelabuhan harus menggunakan konsensi. Hal itu sebagai wujud aset pelabuhan 'dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.'
"Tiga tahun setelah diundangkan maka PT Pelindo I hingga IV harus menyesuaikan semua kontrak dan operasinya dengan UU 17/2008 itu. Pemerintah juga memisahkan bahwa regulator adalah otoritas pelabuhan di bawah Kementerian
Perhubungan dan operatornya adalah Pelindo sebagai badan usaha pelabuhan," beber Nizar.
Di tingkat ketiga ada PP Nomor 64/2015 tentang Kepelabuhanan. Di pasal 74, sebagai turunan kedua aturan
sebelumnya, ditegaskan bahwa pemberian konsesi, 'dilakukan melalui mekanisme pelelangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau melalui penugasan/penunjukan'.
"Yang teknis ini baru dilakukan oleh pihak Pelindo II pada 11 November lalu. Secara tidak langsung pihak Pelindo II barusan mengakui kesalahannya karena telah memperpanjang kontrak dengan pihak HPH pada tahun 2014, sebelum konsesi ditanda tangani," jelas dia.
Setelah dari sisi aturan ketahuan bahwa Direksi Pelindo II yang dipimpin RJ Lino melanggar aturan, Pansus masuk ke
analisa keuangan. Ditemukan juga ada 'pemelintiran substansi komunikasi' oleh pihak Pelindo II terkait kontrak pengelolaan JICT dengan perusahaan milik pengusaha asing Li Ka Shing, Hutchinson Port Holding (HPH).
Oleh pihak Lino, disebut bila kontrak awal HPH habis pada 2019 dan lalu diperpanjang, Indonesia hanya mendapat USD
200-an juta. Apabila tidak diperpanjang, dinilai Indonesia harus mengembalikan ke HPH sebesar USD 400-an juta. Asumsi itu muncul karena dihitung bahwa nilai aset JICT pada 2019 adalah USD 800 juta. 51 persen saham JICT adalah milik HPH dan itu senilai USD 400 juta.
"Padahal sebenarnya, di kontrak yang diteken 1999, jelas tertulis, bahwa saat putus kontrak, maka Indonesia
hanya wajib mengembalikan USD 50-60 juta. Jadi bukan USD 400 juta dolar. Meskipun logika awal diikuti, tetap saja
Indonesia merugi. Praktiknya, Pelindo II hanya mendapat fee di muka USD 215 juta. Artinya, aset total hanya dinilai USD 400 juta dan 49 persen saham Indonesia hanya dinilai USD 200 juta," tambah Nizar.
Menurutnya, sebenarnya Direksi Pelindo II bisa menghentikan kerugian negara itu jika mau berpegang pada kontrak
yang diteken dengan HPH di 1999. Dengan itu, Indonesia cuma membayar USD 50-60 juta. Namun yang dilakukan justru memperpanjang kontrak hingga 2038 dengan hanya memperoleh USD 215 juta.
"Sementara pihak asing mendapat hak pengelolaan yang lebih menguntungkan. Kalau seandainya kontrak tak dilanjutkan, Indonesia hanya membayar USD 50-60 juta sesuai kontrak 1999, dan mendapat 100 persen kepemilikan pada 1999," tegas Nizar yang juga anggota Komisi V DPR.
[wah]
BERITA TERKAIT: