KORUPSI HAK TAGIH BPPN

Kejagung Sudah Periksa Pejabat Penting Era Presiden Megawati

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Selasa, 18 Agustus 2015, 03:11 WIB
Kejagung Sudah Periksa Pejabat Penting Era Presiden Megawati
Syafruddin temenggung/net
‎RMOL. Kejaksaan Agung terus menyelidiki ‎kasus korupsi penjualan hak tagih (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diduga melibatkan perusahaan asing Victoria Securities International Corporation (VSIC).

‎Sejumlah saksi sudah diperiksa, salah satunya adalah Syafruddin Temenggung. Di era Presiden Megawati Soekarnoputri, Syafruddin merupakan salah satu pejabat penting. Dia menjabat Kepala BPPN.

‎"Sudah dong, kita sudah periksa. Kita mintai keterangan," ujar Kapuspenkum Kejagung Tony T. Spontana kepada wartawan, Senin (17/8).

Tony menjelaskan kejaksaan sudah lama membidik kasus yang ditaksir merugikan keuangan negara miliaran rupiah itu. Dikatakannya, kasus ini adalah hasil penyelidikan tim Satgassus dan temuan intelijen.

‎"Kasus ini dari penyelidikan dan ada temuan dari intelejen Kejagung," tandasnya.

‎Terkait kasus ini kejaksaan telah melakukan penggeledahan di kantor Victoria Securities Indonesia (VSI) di bilangan Senayan Jakarta beberapa hari lalu.

‎Namun, kejaksaan dianggap salah terkait subjek dan objek penggeledahan ini. Semestinya Kejagung melakukan penggeledahan di kantor Victoria Securities Internasional Corporation (VSIC) karena perusahaan berbadan hukum asing di British Virgin Island ini yang melakukan akad jual beli aset milik Bank Tabungan Negara (BTN) melalui BPPN pada tahun 2003.‎

Kasus ini bermula saat PT Adistra Utama memiliki total piutang Rp 469 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.000 hektar sekitar akhir tahun 1990.

‎Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukan BTN ke BPPN untuk diselamatkan.

‎Sejumlah kredit macet kemudian dilelang, termasuk utang PT AU. VSIC membeli aset piutang (cassie) itu dengan harga Rp 26 miliar pada tahun 2003.‎

Seiring waktu, PT AU ingin menebus aset tersebut dengan nilai Rp 26 miliar. Tapi, VSIC yang berdomisili di British Virgin Island menyodorkan nilai Rp 2,1 triliun atas aset itu.

‎Pada tahun 2012, PT AU kemudian melaporkan VSIC ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset. Saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejaksaan Agung.[dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA