Indikasi ini juga bisa dicermati dari anggaran Kompolnas yang melekat di mata anggaran Polri hingga tahun 2012 lalu. Selain itu juga Kompolnas masih menggunakan fasilitas Polri sebagai sekretariatnya. Meski saat ini penganggaran Kompolnas telah berada di mara anggaran Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran, Muradi juga mengkritisi keputusan Adrianus yang akhirnya meminta maaf kepada Polri. Hal ini dinilai Muradi kurang tetap mengingat yang bersangkutan adalah salah satu komisioner Kompolnas, bukan sebagai pemerhati kepolisian.
"Keberadaan Adrianus seharusnya memperkuat dan mengefektifkan pengawasan dan kinerja Kompolnas dengan memposisikan diri sebagai komisionernya," tegasnya seperti diberitakan
RMOL Jabar.
Kendati di sisi lain, bisa dipahami bahwa langkah Adrianus tersebut karena Kompolnas juga memiliki kewenangan yang terbatas. Sehingga, kerapkali Adrianus berganti peran sebagai pengamat daripada sebagai komisioner agar apat lebih kritis kepada Polri.
"Langkah Adrianus harus dianggap sebagai bentuk kegelisahan atas praktik penyimpangan di internal Polri yang bahkan Kompolnas sekalipun tidak cukup mampu melakukan pengawasan yang efektif," jelas Muradi.
Berkaca dari masalah tersebut, menurut dia, ada baiknya kewenangan Kompolnas diperluas dan diperkuat. Dengan terlebih dahulu memandirikan Kompolnas dari ketergantungan kepada Polri baik fasilitas maupun penganggaran. Selanjutnya harus diikuti pola rekruitmen yang lebih transparan agar menghasilkan komisioner Kompolnas yang mumpuni dan berintegritas.
"Dengan begitu, permasalahan seperti yang menimpa Adrianus tidak lagi terjadi, dan idiom bahwa Kompolnas hanya menjadi lembaga pendukung buta Polri dapat secara efektif diminimalisir," tandas Muradi.
[wid/rmoljabar.com]
BERITA TERKAIT: