"Awalnya BLBI. Pada 1996 dan 1997 itu, triliunan uang hasil korupsi dibawa ke sana. Karena aman, sekarang hasil korupsi kebanyakan dibawa ke sana," ujar Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman kepada
Rakyat Merdeka Online, Sabtu (16/11) malam.
Boyamin melanjutnya, Singapura dipilih karena sangat praktis dan aman. Jaraknya sangat dekat dengan Indonesia. Ongkos pergi sana sangat murah. Sehingga para koruptor tersebut masih bisa mengkontrol perusahaan yang ada di Indonesia. Tapi, koruptor ini tidak bisa ditangkap oleh aparat Indonesia karena tidak ada perjanjian ekstradisi.
Di sisi lain, lanjut Boyamin, Singapura merasa diuntungkan dengan para buronan koruptor itu. Dengan uang hasil korupsi di Indonesia, para koruptor tersebut mendirikan perusahakan. Tidak heran jika para koruptor itu terkesan dilindungi pemerintah Singapura.
"Singapura tidak hanya dijadikan tempat pencucian uang, tapi di sana juga jadi tempat usaha baru. Banyak perusahan besar berkantor di sana, tapi mereka mencari uangnya di Indonesia juga," jelas Boyamin.
Karena itu, Boyamin meminta pemerintah bertindak tegas. Singapura harus dipaksa untuk menandatangani perjanjian ekstradisi. Jika tidak, selamanya Singapura akan menjadi persembunyian yang enak untuk para koruptor.
"Kalau nggak mau menandatangani perjanjian ekstradisi, putus saja perjanjian kerja sama dengan kita. Sebab, itu telah melecehkan kita," tandasnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: