Dari pertama, Robert meminta KPK agar menelisik ke mana saja Rp 6,7 triliun yang dikucurkan Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan. Hari ini, Robert lebih lantang meminta KPK segera memeriksa pihak-pihak yang hadir dalam rangkaian rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tahun 2008, termasuk pada rapat dinihari 21 November 2008, di mana Bank Century dipertimbangkan menjadi bank gagal berdampak sistemik.
Dari awal menangani kasus ini KPK sudah menggilir para tokoh yang berkaitan dengan kebijakan bailout dan kompeten untuk bersaksi. Diantaranya, Sekretaris KSSK, Raden Pardede; mantan Komisaris Lembaga Penjamin Simpanan, Darmin Nasution; mantan Kepala Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Anggito Abimanyu.
Dua tokoh utama KSSK juga sudah digarap. Yaitu, Sri Mulyani selaku mantan Ketua KSSK merangkap merangkap Menteri Keuangan, dan Wakil Presiden Boediono selaku mantan Gubernur Bank Indonesia merangkap Gubernur BI. Sri Mulani diperiksa di Washington DC, Amerika Serikat, pada akhir April lalu di sela tugasnya sebagai pimpinan Bank Dunia. Sedangan Boediono pernah dimintai keterangannya oleh KPK di Istana Wapres, pada April 2010. Namun ketika itu kasus Century belum masuk ke tahap penyidikan.
Mereka yang pernah diperiksa oleh KPK sebagai saksi pada ranah penyidikan terkersan tidak mau disalah menyangkut segala kontroversi yang mewarnai kebijakan bail out dan penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Sekretaris KSSK, Raden Pardede, saat diperiksa 27 Mei lalu menegaskan, Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) untuk Bank Century merupakan kewenangan Bank Indonesia (BI). KSSK tidak ikut memutuskan pemberian FPJP tersebut.
Sedangkan Mantan Komisaris Lembaga Penjamin Simpanan, Darmin Nasution, usai diperiksa 29 Agustus lalu mengatakan, kebijakan penggelontoran uang talangan dan penetapan bank sebagai bank gagal berdampak sistemik adalah tanggung jawab Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Keanggotaan KSSK terdiri dari Menteri Keuangan (saat itu Sri Mulyani) sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia (saat itu Boediono) sebagai Anggota.
Lebih mencengangkan adalah pengakuan dari mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Anggito Abimanyu. Usai diperiksa KPK pada 20 Februari lalu, Anggito mengaku hanya ikut dalam rapat-rapat terbuka untuk memberi masukan kepada KSSK.
Selain menegaskan tidak tahu menahu soal FPJP yang merupakan domain Bank Indonesia, Anggito juga mempertanyakan hubungan antara Bank Century yang gagal, dengan dampak sistemik yang diciptakan. Ia tak memahami mengapa BI mengambil suatu keputusan penetapan Bank Century sebagai bank gagal dan berdampak sistemik.
Dia hanya memahami keputusan bail out karena biaya penyelamatan yang disepakati awalnya adalah Rp 632 miliar. Angka itu disepakati pada pertengahan 2008 jauh sebelum ada pemutakhiran angka pada rapat 20 November 2008.
"Itu jauh lebih kecil daripada biaya penutupan, yaitu sekitar Rp 6 triliun. Namun demikian, keputusan ada di tangan KSSK," jelasnya.
Anggito sekali lagi menyatakan, belum ada bukti meyakinkan bahwa Bank Century yang gagal itu punya dampak sistemik. Sepengetahuan dia, dampak sistemik itu ada apabila bank tersebut punya ukuran besar dan mempunyai kaitan dengan bank lain. Atau, punya kegiatan interbank sehingga apabila dia gagal sehingga mempunyai dampak pada kinerja bank lainnya.
"Dan saya tidak melihat itu sebagai alasan BI bahwa Bank Century adalah bank gagal berdampak sistemik," ucapnya.
Tengok juga apa kata Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, Fuad Rahmany, yang pada rapat KSSK itu hadir sebagai Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Usai diperiksa selama kurang lebih tiga jam pada 11 September lalu, Fuad menegaskan pendapatnya sejak disertakan dalam rapat 21 November 2008. Menurutnya, Century bukan bank gagal yang berdampak sistemik.
Pertanyaan publik sejak lama adalah mengapa KSSK akhirnya memutuskan bahwa Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Padahal, dalam rapat konsultasi banyak pandangan yang menyebutkan Century bukan bank gagal berdampak sistemik. Bahkan, di dalam notulensi rapat konsultasi juga BI memberikan catatan yang intinya berupa pengakuan bahwa penilaian mereka atas keadaan Bank Century sulit untuk dibuktikan.
Mengenai hal itu, keterlibatan Boediono selaku mantan Gubernur BI menjadi sangat penting untuk dikaji kembali. Namanya memang sudah dibicarakan sejak megaskandal dana talangan Rp 6,7 triliun ini merebak ke permukaan.
Boediono merupakan figur sentral dan paling menentukan di balik skandal dana talangan. Ia paling ngotot mengusulkan agar KSSK yang dipimpin Menteri Keuangan saat itu yang kini bekerja untuk Bank Dunia, Sri Mulyani, memberikan status baru kepada Bank Century, yakni “Bank Gagal Berdampak Sistemikâ€.
Dari transkrip rekaman pembicaraan dalam rapat konsultasi dan dokumen resmi notulensi rapat konsultasi, diketahui aroma penolakan dari Sri Mulyani terhadap pendapat Boediono. Ia mengatakan bahwa reputasi Bank Century sejak berdiri Desember 2004 hasil merger Bank Danpac, Bank CIC, dan Bank Pikko, memang sudah tidak bagus.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pun menolak penilaian BI. Analisa risiko sistemik yang diberikan BI dianggap belum didukung data yang cukup dan terukur untuk menyatakan bahwa Bank Century dapat menimbulkan risiko sistemik. Menurut BKF, analisa BI lebih bersifat analisa dampak psikologis. Sikap Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pun hampir serupa. Dengan mempertimbangkan ukuran Bank Century yang tidak besar, secara finansial Bank Century tidak a
Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) semakin mengungkap tabir untuk membuka otak dari kebijakan tersebut. Dalam sebuah kesempatan, JK mengungkapkan pengakuan Sri Mulyani kepadanya bahwa mantan Menteri Keuangan itu merasa ditipu oleh Bank Indonesia (Boediono).
Sri Mulyani merasa dikerjai dalam rapat yang digelar malam 20 November 2008 hingga dinihari 21 November 2008. Di dalam rapat itu, Gubernur BI Boediono terlihat begitu bersemangat menekan KSSK, agar memberikan status bank gagal berdampak sistemik untuk Bank Century, serta mengucurkan bailout sebesar Rp 632 miliar. Sri Mulyani pun mengaku ditipu oleh Boediono.
Persoalannya kini, lembaga penegak hukum, terutama KPK, terlihat kesulitan untuk mengambil tindakan terhadap Boediono. Entah apa yang membuat mereka begitu ketakutan, namun yang pasti semua kesaksian dan pengakuan di depan publik dari para pelaku di seputar kebijakan itu mengarah tajam ke Boediono.
KPK sepertinya panas dingin kalau ditanya soal Boediono. Jurubicara KPK, Johan Budi, mengatakan bahwa kemungkinan memeriksa Boediono selalu terbuka sepanjang keterangannya diperlukan penyidik. Padahal, Ketua KPK Abraham Samad berulang kali sesumbar, pihaknya tak takut memeriksa siapa pun, termasuk seorang wakil presiden yang pernah berperan besar dalam pemberian FPJP ke Bank Century pada 2008.
Terlepas dari pertanyaan seputar nyali KPK tersebut, kita dapat dipastikan bahwa ketika hari pemeriksaan itu tiba maka Boediono sudah ditakdirkan untuk bertarung sendirian.
[ald]
BERITA TERKAIT: