Menurut kelompok Defend Our Juries, penangkapan ini menjadi penangkapan massal terbesar dalam satu aksi di ibu kota Inggris.
Ratusan pengunjuk rasa pada Minggu, 10 Agustus 2025, mengangkat papan bertuliskan “I oppose genocide. I support Palestine Action” sambil menyerukan penghentian perang Israel di Gaza.
Video yang beredar memperlihatkan massa duduk di jalan, meneriakkan “Hands off Gaza!”, sementara polisi mengangkut mereka satu per satu, disambut teriakan “shame on you”.
Dalam pernyataannya di platform X, Polisi Metropolitan menyebut bahwa ratusan orang ditangkap karena menunjukkan dukungan terhadap Palestine Action, sebuah organisasi yang sejak 2 Juli lalu resmi dilarang di bawah Terrorism Act 2000.
Delapan orang lainnya ditangkap atas pelanggaran lain, termasuk lima kasus penyerangan terhadap petugas.
Larangan tersebut diajukan Menteri Dalam Negeri Yvette Cooper setelah anggota Palestine Action membobol pangkalan udara RAF Brize Norton dan merusak dua pesawat militer. Dukungan atau keanggotaan terhadap kelompok ini kini dapat dihukum hingga 14 tahun penjara.
Namun, kebijakan ini menuai kritik luas. Amnesty International UK mengecam penangkapan damai tersebut sebagai pelanggaran terhadap kewajiban internasional Inggris untuk melindungi kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai.
Paddy Friend, salah satu peserta aksi, mempertanyakan makna demokrasi di Inggris.
“Jika kami tak bisa datang dengan tujuh kata di papan dan duduk diam, lalu apa arti kebebasan berbicara?” ujarnya, seperti dimuat
Al Jazeera.Manji Mansfield, seorang nenek yang sebelumnya juga pernah ditangkap saat aksi serupa, menegaskan ia tidak akan berhenti.
“Ini bukan Inggris yang saya kenal saat tumbuh besar. Kita hidup di alam semesta alternatif, dan saya tidak akan menerimanya,” tegasnya.
Politisi Partai Buruh John McDonnell ikut mengecam.
“Memalukan bahwa orang-orang ditangkap hanya karena membela hak demokratis kita,” tulisnya di X.
Para akademisi internasional pun menyuarakan dukungan. Lebih dari 350 penandatangan surat terbuka, termasuk sejarawan Israel Ilan Pappe dan profesor Eyal Weizman, menilai pelarangan ini memiliki konsekuensi represif yang berbahaya bagi kebebasan akademik dan ruang publik.
Meski demikian, Menteri Dalam Negeri Yvette Cooper tetap membela kebijakannya.
"Hak untuk berdemonstrasi kami lindungi dengan tegas, tapi ini berbeda dari menunjukkan dukungan pada organisasi yang sempit dan terlarang ini,” kata Cooper, mengklaim Palestine Actin tidak bersifat non-kekerasan dan mendapat penilaian keamanan tinggi sebagai ancaman.
Di tengah polemik ini, Pengadilan Tinggi London mengizinkan pendiri Palestine Action, Huda Ammori, untuk mengajukan judicial review terhadap larangan tersebut. Sidang penuh dijadwalkan berlangsung pada akhir 2025.
BERITA TERKAIT: