Kebijakan yang disebut sebagai "tarif timbal balik" ini bertujuan untuk menyamakan tarif impor yang dikenakan negara-negara tersebut terhadap barang dari AS.
Trump menegaskan bahwa kebijakan ini dibuat untuk merespons perlakuan tarif yang dinilainya tidak adil.
"Sangat sederhana, jika mereka mengenakan tarif kepada kami, kami akan mengenakan tarif kepada mereka," kata Trump seperti dikutip dari
CNN, Sabtu 15 Februari 2024.
Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, juga menyatakan bahwa Trump meyakini negara-negara lain telah "menipu" AS dengan mengenakan tarif yang lebih tinggi terhadap barang impor dari Negeri Paman Sam.
Negara-negara berkembang diperkirakan akan merasakan dampak paling besar dari kebijakan ini karena adanya kesenjangan tarif yang signifikan.
Sebagai contoh, menurut Bank Dunia, tarif rata-rata AS untuk barang impor dari India hanya 3 persen, sedangkan India mengenakan tarif rata-rata 9,5 persen terhadap barang AS.
Perbedaan tarif serupa juga ditemukan di Brasil, Vietnam, serta berbagai negara di Asia Tenggara dan Afrika.
Pekan lalu, Trump telah lebih dulu mengumumkan tarif baru sebesar 10 persen untuk seluruh impor dari China. Selain itu, ia juga menerapkan tarif 25 persen terhadap impor baja dan aluminium tanpa pengecualian.
Meski AS sebagian besar mengimpor baja dari Kanada, Brasil, dan Meksiko, kebijakan ini tetap dianggap sebagai langkah tidak langsung untuk menekan China.
Bagi Indonesia, kebijakan ini berpotensi menghambat ekspor aluminium ke AS. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk aluminium ekstrusi Indonesia ke AS terus meningkat sejak 2019, mencapai 102 juta Dolar AS pada 2023 dibandingkan 75 juta Dolar As pada 2019.
Namun, tren ini mengalami penurunan signifikan pada 2024. Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan RI, Natan Kambuno, melaporkan bahwa pada periode JanuariāAgustus 2024, ekspor aluminium ekstrusi Indonesia ke AS hanya mencapai 41 juta Dolar AS.
BERITA TERKAIT: