Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

China Bisa Rebut Taiwan Tanpa Invasi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/hani-fatunnisa-1'>HANI FATUNNISA</a>
LAPORAN: HANI FATUNNISA
  • Minggu, 23 Juni 2024, 09:45 WIB
China Bisa Rebut Taiwan Tanpa Invasi
Ilustrasi/Net
rmol news logo Tanpa melibatkan pasukan militer ataupun meluncurkan tembakan, China masih bisa mewujudkan ambisi utamanya untuk menguasai Taiwan.

Lembaga pemikir Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, mengungkap skenario selain invasi atau blokade militer yang mungkin diambil China untuk mencapai reunifikasi Taiwan.

Para peneliti CSIS, Bonny Lin, Brian Hart, Matthew Funaiole, Samantha Lu dan Truly Tinsley mengatakan, China bisa menggunakan strategi karantina Taiwan sebagai jalan alternatif.

Dengan taktik "Zona Abu-abu", Penjaga Pantai China, milisi maritim, dan berbagai polisi serta badan keamanan maritim dapat memulai isolasi penuh yang akan memutus akses Taiwan ke pelabuhan-pelabuhan dan menghentikan pasokan penting seperti energi.

Sementara komponen angkatan laut, udara dan darat dari Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), kekuatan militer terbesar di dunia, mungkin hanya memainkan peran tambahan dan pendukung.

Hukum internasional menganggap blokade sebagai tindakan perang, berbeda dengan karantina. Penjaga Pantai China dianggap sebagai lembaga penegak hukum, artinya, mereka dapat menghentikan dan mengatur pelayaran di sekitar pulau dengan cara yang disebut karantina.

“Karantina (adalah) operasi yang dipimpin oleh penegakan hukum untuk mengendalikan lalu lintas maritim atau udara di wilayah tertentu, sementara blokade terutama bersifat militer,” ungkap laporan tersebut, seperti dikutip dari CNN pada Minggu (23/6).

Menurut CSIS, cara ini akan tidak hanya dapat mencegah PLA ikut berperang, namun juga dapat menempatkan para pendukung seperti Amerika Serikat dalam peran sebagai pemrakarsa konflik militer untuk mempertahankan otonomi Taiwan.

Washington berdasarkan Undang-Undang Hubungan Taiwan diwajibkan menyediakan sarana pertahanan bagi pulau tersebut, dan memasok persenjataan pertahanan.

Belakangan Presiden AS, Joe Biden berulang kali mengatakan bahwa ia akan menggunakan pasukan Amerika untuk melindungi Taiwan, sebuah peringatan yang tampaknya menyimpang dari kebijakan luar negeri di negara itu.

Jika kapal atau pesawat militer AS benar-benar melakukan intervensi terhadap operasi penegakan hukum China, Washington dapat dianggap sebagai pihak memulai permusuhan militer.

CSIS menyajikan data perbandingan jumlah penjaga pantai, di mana China memiliki  150 kapal laut dan 400 kapal yang lebih kecil. Beijing juga memiliki ratusan kapal lagi di Badan Keamanan Maritim dan milisi maritimnya.

Sementara Penjaga Pantai Taiwan hanya memiliki 10 kapal laut dan sekitar 160 kapal kecil, tidak cukup untuk menghambat upaya karantina.

Para penulis CSIS mencatat bahwa tindakan karantina yang diambil oleh Beijing bisa jadi sangat terbatas dan masih berdampak mencekik Taiwan secara ekonomi.

Hanya sedikit perusahaan yang ingin menghadapi kemungkinan aset mereka disita oleh otoritas China dan mungkin secara sukarela berhenti melayani pulau tersebut.

“Kesediaan China untuk mencari dan menyita hanya segelintir kapal komersial dapat memberikan dampak pencegahan yang sangat besar dan mencegah pelanggaran serupa,” ungkap CSIS.

Tindakan penggeledahan dan penyitaan yang terbatas berdampak pada penerbangan ke Taiwan karena karantina dapat dengan mudah diperluas ke udara.

Karena karantina tidak mengharuskan China menutup atau membatasi akses ke Selat Taiwan, maka Washington dan sekutunya bisa kehilangan salah satu klaim terbesar mereka untuk melakukan intervensi berdasarkan hukum internasional, yaitu menjaga kebebasan navigasi di jalur perairan internasional.

“Jika karantina dijadikan sebagai operasi penegakan hukum, China dapat dengan mudah mengumumkan berakhirnya operasi tersebut dan mengklaim tujuannya telah tercapai,” ungkapnya.

Analis di luar CSIS rata-rata meragukan strategi isolasi tersebut. Mantan direktur operasi di Pusat Intelijen Gabungan Komando Pasifik AS, Carl Schuster menilai karantina Taiwan akan memakan biaya besar dan waktu yang banyak.

“Taipei tidak akan menyerah dalam waktu kurang dari 60 hari. Dapatkah Beijing mempertahankan upaya dan kemungkinan reaksi internasional selama itu?," ujarnya.

Para ahli memperingatkan bahwa upaya untuk mengacaukan status quo di Selat Taiwan dapat semakin mengikis perdagangan luar negeri Beijing.

Alessio Patalano, profesor perang dan strategi di King's College di London, mencatat tantangan yang sudah dihadapi Partai Komunis China dengan perekonomian yang masih berjuang untuk pulih dari isolasi Covid-19 yang telah menyebabkan tingkat pertumbuhan anjlok dan pembatasan perdagangan baru, seperti tarif pada ekspor kendaraan listriknya.

Taiwan adalah negara industri maju yang terkemuka, pusat penting dalam rantai pasokan global, dan produsen sebagian besar semikonduktor tercanggih di dunia. Karantina di pulau ini akan menimbulkan dampak ekonomi tidak hanya di dalam negeri, namun juga secara global.

Meskipun sebagian besar negara secara diplomatis mengakui Beijing dibandingkan Taiwan, pulau ini telah menjalin hubungan tidak resmi yang semakin kuat dengan negara-negara demokrasi barat, sehingga memperdalam hubungan tersebut dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan semakin meningkatnya ancaman Beijing.

Menurut Kementerian Urusan Ekonomi Taiwan, tahun lalu, 35 persen ekspor berupa sirkuit terpadu, sel surya, dan komponen elektronik Taipei ditujukan ke daratan Beijing.

Selain itu, menurut peneliti senior di Royal United Services Institute di London Sidharth Kaushal, karantina dapat mendorong masyarakat untuk mendukung pemerintah Taiwan yang pro-kemerdekaan. Pada akhirnya China akan mengambil tindakan militer untuk mencegah hal tersebut.

“Bukti sejarah menunjukkan bahwa bahkan blokade yang ketat pun memiliki nilai paksaan yang terbatas, dan karantina terbatas mungkin mengakibatkan terjadinya flag effect," paparnya.

Partai Komunis China yang berkuasa mengklaim Taiwan sebagai miliknya, meski tidak pernah menguasainya. Beijing berjanji untuk “bersatu kembali” dengan pulau itu, jika perlu dengan kekerasan.

Ambisi China untuk menguasai Taiwan semakin jelas terlihat setelah Menteri Pertahanan China Laksamana Dong Jun berjanji untuk menghancurkan setiap upaya Taipei menjadi negara merdeka.

"Kami akan mengambil tindakan tegas untuk mengekang kemerdekaan Taiwan dan memastikan rencana seperti itu tidak akan pernah berhasil,” tegasnya di a KTT pertahanan Dialog Shangri-La di Singapura awal bulan ini. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA