Mnangagwa memperoleh 52,6 persen suara berdasarkan hasil penghitungan suara, sedangkan saingan utamanya Nelson Chamisa menyabet 44 persen.
Chamisa, pemimpin Partai Koalisi Warga untuk Perubahan yang merupakan oposisi di negara itu, mengatakan di media sosial X bahwa pihaknya tidak akan mengakui "hasil apa pun yang dicapai secara tergesa-gesa tanpa verifikasi yang tepat," seperti dikutip dari
DW.
Pemilu ini dipandang sebagai pemungutan suara yang berisiko tinggi, karena negara di Afrika bagian selatan itu telah menderita akibat inflasi yang tidak terkendali selama bertahun-tahun, depresiasi mata uang yang tajam, dan krisis pengangguran.
Pada tanggal 23 Agustus, pemilihan presiden dan parlemen diadakan di negara tersebut. Kemudian pemungutan suara diperpanjang satu hari karena adanya pelanggaran prosedur yang tercatat di sejumlah TPS.
Sebelas kandidat bersaing untuk menjadi presiden Zimbabwe, termasuk kepala negara saat ini, Mnangagwa.
Chamisa, pemimpin partai oposisi Koalisi Warga untuk Perubahan, adalah pesaing utamanya.
Dalam pemilu sebelumnya, pada 2018, yang dimenangkan Mnangagwa, Chamisa juga mengatakan hal yang sama bahwa kemenangan Mnangagwa tidak sah. Ia dan Mnangagwa bertengkar hebat. Pihak oposisi mengklaim pada saat pemungutan suara tersebut ada kecurangan, namun hasilnya dikuatkan oleh mahkamah konstitusi.
Mnangagwa yang berusia 80 tahun dijuluki "buaya" karena kekejamannya. Dia mengambil alih kendali negara ketika pendahulunya, Robert Mugabe, digulingkan dalam kudeta militer pada tahun 2017.
BERITA TERKAIT: