Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh 514 kelompok masyarakat sipil, yang dikumpulkan oleh Progressive Voice, kunjungan Griffiths dianggap tidak memberikan kemajuan yang signifikan dalam upaya melanjutkan bantuan kemanusiaan ke negara itu.
Kunjungan tersebut justru dianggap telah memberikan legitimasi kepada para pemimpin kudeta yang selama ini dianggap telah menghalangi bantuan ke ratusan ribu masyarakat Myanmar yang membutuhkan.
Seperti dikutip
Aljazeera, Rabu (23/8), kritikan tersebut datang setelah kepala bantuan PBB itu melakukan perjalanan selama tiga hari pada pekan lalu ke Myanmar. Griffiths terlihat berjabat tangan dengan kepala junta militer Jenderal Min Aung Hlaing, di halaman Global New Light of Myanmar yang dikelola negara, yang memicu spekulasi luas.
Menurut ratusan kelompok sipil tersebut, PBB seharusnya memutuskan hubungannya dengan pemimpin kudeta dan tidak berkolaborasi dengan junta militer, yang selama ini telah menghalangi bantuan kemanusiaan kepada warga Myanmar.
"Seharusnya Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) dan lembaga kemanusiaan PBB lainnya memutuskan hubungan dengan junta kriminal ilegal yang telah mempersenjatai bantuan dan merupakan akar penyebab penderitaan manusia di Myanmar,” kata kelompok masyarakat sipil tersebut.
Lebih lanjut kelompok itu meminta agar PBB bekerja sama dengan pemangku kepentingan lain di negaranya, seperti Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dan kelompok etnis, yang mereka yakini memiliki akses dan kepercayaan dari masyarakat untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan.
Sejak militer Myanmar merebut kekuasaan pada 2021 lalu, negara itu telah terjerumus ke dalam krisis kemanusiaan dan konflik berkepanjangan yang semakin dalam, yang disebabkan oleh tindakan keras dari junta militer, yang kerap menghalangi masuknya bantuan dari organisasi internasional.
BERITA TERKAIT: