Penolakan tersebut terungkap dalam laporan sejumlah media lokal pada Selasa (22/8).
"Sejalan dengan posisi Aljazair, yang dengan tegas menolak intervensi militer apa pun di Niger sebagai opsi untuk memaksa para pemberontak menyerahkan kekuasaan dan mengembalikan Presiden Mohamed Bazoum ke jabatannya," demikian radio resmi Aljazair mengutip sumber yang dapat dipercaya, seperti dimuat
The New Arab.
Prancis, yang memiliki sekitar 1.500 tentara di bekas jajahannya di Niger dan telah melakukan operasi di wilayah Sahel melawan pemberontakan jihadis, dituduh oleh pimpinan kudeta merencanakan intervensi militer untuk mengembalikan pemerintahan presiden yang digulingkan.
Kementerian Luar Negeri Prancis sendiri telah membantah niat intervensi bersenjata di negara Afrika Barat itu, meskipun berulang kali menyatakan dukungannya atas upaya ECOWAS yang mengancam akan menggunakan kekuatan untuk membalikkan kudeta.
“Staf pertahanan gabungan Prancis membantah membuat permintaan untuk terbang di atas wilayah Aljazair,” kata seorang sumber di tentara Perancis, seperti dikutip dari
Reuters.ECOWAS mengatakan pada Jumat pekan lalu bahwa mereka telah memutuskan tanggal pengiriman pasukan ke Niger jika upaya diplomatik dalam restorasi Bazoum terbukti tidak berhasil.
Benin, Pantai Gading, dan Nigeria, semuanya telah menyatakan kesediaannya untuk menyumbangkan pasukan dalam misi blok tersebut untuk memulihkan ketertiban demokrasi di Niger.
Awal Agustus 2023, Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune menyuarakan keprihatinan tentang tanggapan bersenjata terhadap krisis di Niamey, yang dia khawatirkan dapat menyulut seluruh wilayah Sahel. Dia menambahkan bahwa Aljazair tidak akan menggunakan kekerasan terhadap tetangganya.
Sementara itu, Uni Afrika (AU) pada Selasa memperingatkan terhadap segala campur tangan eksternal di Niger, setelah menangguhkan keanggotaan negara tersebut sebagai hukuman atas kudeta.
BERITA TERKAIT: