Begitu yang coba disampaikan Presiden Moldova Maia Sandu selama wawancara di sela-sela KTT Dewan Eropa di Islandia, seperti dikutip dari Arab News pada Kamis (18/5).
Menurut Sandu, Moldova harus secepatnya menjadi bagian dari Uni Eropa, sehingga ketakutan akan perluasan invasi Rusia akan sedikit menurun.
"Tentu saja, tidak ada yang sebanding dengan apa yang terjadi di Ukraina, tetapi kami melihat risikonya dan kami percaya bahwa kami dapat menyelamatkan demokrasi kami hanya sebagai bagian dari Uni Eropa,” ujarnya.
Lebih lanjut, Shandu menjelaskan bagaimana wilayah yang memisahkan diri dari Moldova, yakni Transnistria sudah disusupi oleh sejumlah pasukan kecil dari Rusia.
"Kami sedang berjuang untuk mendapatkan penyelesaian konflik secara damai, dan kami telah meminta Rusia untuk menarik pasukannya yang ditempatkan secara ilegal,” tegas Sandu.
Perang Rusia selama 15 bulan terakhir telah memperkuat prospek keanggotaan Ukraina dan Moldova di Uni Eropa.
Tahun lalu, keduanya mendaftar untuk bergabung dengan blok tersebut dan pada Juni 2022 telah ditetapkan sebagai negara kandidat Uni Eropa bersama dengan Georgia.
Kendati demikian, proses menuju akses keanggotaan Uni Eropa akan memakan waktu lebih dari satu dekade. Hal ini karena negara pelamar harus lebih dulu memenuhi persyaratan yang diajukan untuk bisa bersanding dan duduk bersama dengan negara-negara sebesar Uni Eropa.
Tidak seperti Ukraina, Moldova memiliki wilayah yang cukup kecil untuk dapat diintegrasikan ke dalam Uni Eropa dengan cara mudah.
Moldova juga harus menuntaskan serangkaian masalah internal negara seperti kasus korupsi, perekonomian ekonomi dan energi yang rapuh, hingga masalah Transnistria yang 30.000 penduduknya sudah berpihak pada Rusia.
Beberapa persoalan itu harus lebih dulu Moldova selesaikan sebelum benar-benar bisa bergabung dan diterima dalam organisasi kawasan Uni Eropa.
BERITA TERKAIT: