Begitu yang disampaikan Presiden Togo, Faure Gnassingbe dalam wawancaranya dengan stasiun TV,
New World, seperti dikutip dari
African News pada Senin (1/5).
Dalam paparannya, Gnassingbe menceritakan bagaimana kondisi keamanan Togo yang terancam oleh diaspora jihadis dari Burkina Faso dan Mali.
Meski telah mengalokasikan dana besar untuk upaya pemberantasan teroris, Presiden Togo mengungkap jumlah korban masih terlampau banyak dengan 40 tentara dan 100 warga sipil tewas.
"Sayangnya kami telah kehilangan sekitar 40 orang, dan kemudian seratus atau lebih korban sipil di negara ini," ujar Gnassingbe.
Kendati demikian, Gnassingbe menjelaskan bahwa setengah dari 100 warga sipil yang tewas merupakan para pengungsi asal Burkina Faso yang kabur ke Togo utara karena serangan jihadis yang sama.
Terkait dengan misi perlawanan, Gnassingbe menyebut pihaknya telah meningkatkan proyeksi kekuatan yang awanya hanya operasi preventif, kini menjadi defensif dan sesekali ofensif.
Menurutnya, itu perlu dilakukan karena pemberontakan yang dilakukan oleh ISIS di Sahara Raya dan Al Qaeda telah berada di titik peperangan.
Sejak 2018 Togo telah meluncurkan operasi militer Koundjoare untuk melawan kekerasan militan. Pemerintah juga membentuk komite antar kementerian untuk pencegahan dan mencegah paham ekstremisme subur di Togo.
Awal bulan ini, Togo telah memutuskan untuk memperpanjang keadaan darurat di utara. Sehingga pasukan keamanan dan otoritas lokal lebih fleksibel mengambil tindakan mendesak untuk memerangi ancaman dari kelompok militan.
BERITA TERKAIT: