Seruan tersebut dikeluarkan setelah para mantan PM menyelesaikan forum diskusi meja bundar dalam acara MEDays pada Jumat (4/11) di Tangier.
Mereka menandatangani sebuah dokumen yang menunjukkan jika keberadaan SADR sebagai entitas boneka di UA, telah melanggar Pasal 3(b) dan 4(b) Undang-Undang Konstitutif Uni Afrika.
Menurut dokumen tersebut, SADR secara hukum tidak memenuhi satu elemenpun dalam konstituen negara, yaitu wilayah, populasi, dan pemerintahan yang efektif, kedaulatan dan kemerdekaan, bahkan tidak mengemban tanggung jawab internasional.
Selain itu, para mantan PM juga meminta Institut Amadeus dan mitra lembaga think tank Afrika untuk menghasilkan 'White Paper' yang berisi hasil analisis dan rekomendasi yang didapatkan dari diskusi meja bundar serta konferensi dan pertemuan yang diadakan sebelumnya di beberapa negara.
Lahkan lebih lanjut diambil mereka dengan membuat 'Group Contact) yang bertugas membawa 'Seruan Tangier' dan 'White Paper' yang dibuat kepada kepala negara dan pembuat keputusan Uni Afrika.
Grup Kontak untuk Seruan Tangier ini terdiri dari mantan Perdana Menteri Djibouti Dileita Mohamed Dileita, Republik Afrika Tengah Martin Ziguélé; dan oleh Mantan Menlu Eswatini, Lutfo Dlamini, Liberia Gbehzohngar Milton Findley, Gabon Régis Immongault Tatangani, Malawi Francis Kasaila, Senegal Mankeur Ndiaye, Guinea Mamadi Touré, serta Kenya Rafael Tuju.
Republik Demokratik Arab Sahrawi atau Sahara Barat adalah sebuah negara dengan pengakuan de jure terbatas yang mengklaim memiliki kekuasaan atas seluruh wilayah Sahara Barat.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: