Uni Eropa sedang mempertimbangkan sanksi terhadap Myanmar dengan menargetkan bisnis yang dimiliki oleh tentara, namun mereka juga harus memikirkan dampaknya terhadap para pekerja miskin. Sementara Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi kepada dua jenderal lagi atas keterlibatannya dengan aksi kudeta.
Mereka menunjukkan dukungan untuk menggagalkan kudeta yang terjadi pada 1 Februari dan membebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas di Brussel, mengatakan pihaknya tidak mau hanya berdiri saja sebagai penonton. Ia menegaskan bahwa sanksi akan dijatuhkan jika diplomasi gagal.
"Kami tidak siap untuk berdiri saja dan menonton," kata Mass, seperti dikutip dari
Reuters, Selasa (23/2).
Aksi mogok terjadi di penjuru negeri itu disusul dengan tutupnya banyak bisnis karena kekhawatiran amukkan massa.
Pada Senin, sekelompok orang berkumpul dalam kerumunan besar. Walau telah ada peringatan dari Junta agar masyarakat menjauhi aksi protes, ratusan orang telah berbaris dalam jumlah yang sangat banyak.
Pihak kepolisian Myanmar telah mengingatkan untuk menghindari konfrontasi yang dapat membahayakan keselamatan semua orang.
Melihat ratusan orang berbaris untuk aksi protes dan itu terjadi hampir setiap hari, menunjukkan bahwa masyarakat sudah tidak takut lagi terhadap ancaman junta. Sebaliknya, junta mulai terlihat kewalahan menghadapi massa.
Pelapor Khusus PBB Tom Andrews mengatakan para militer telah kehilangan kekuatannya untuk mengintimidasi dan sebaiknya segera mundur.
“Para jenderal telah kehilangan kekuatan mereka untuk mengintimidasi. Sudah waktunya bagi mereka untuk mundur, karena rakyat Myanmar berdiri bersama,†kata Andrews dalam cuitannya di Twitter, seperti dikutip dari
Reuters, Selasa (23/2).
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: