Diantara janji-janjinya yang perlu diingat antara lain: dia akan mencaplok kembali Gaza dan Tepi Barat. Artinya, dia akan menghapus mimpi rakyat Palestina untuk memiliki negara secara damai. Dengan kata lain, perjanjian damai Palestina-Israel berdasarkan konsep two states solution akan dikuburnya dalam-dalam.
Sebagai gantinya Presiden Amerika Donald Trump sudah menyiapkan perjanjian damai baru yang disebutnya: "Deal of the Century" yang artinya "Kesepakatan Abad Ini".
Walaupun namanya keren akan tetapi isinya kosong. Baik Israel, Amerika, maupun sejumlah negara Arab yang ikut mendukungnya, sudah membocorkan sebagian isinya sebagai prakondisi.
Mahmoud Abbas yang akrab dipanggil Abu Mazen sebagai Presiden Palestina sudah menolaknya mentah-mentah. Sikap ini didukung penuh baik oleh Fatah maupun Hammas, juga faksi-faksi lain yang lebih kecil di Palestina.
Jika usulan perdamaian sebelumnya, didukung Fatah tetapi ditentang Hammas, sehingga rakyat Palestina terbelah. Kini keduanya kompak bersatu, membuat seluruh rakyat Palestina secara bulat menyikapinya.
Poin-poin dalam usulan perjanjian yang bocor antara lain:
Pertama, ibukota Palestina di kota kecil bernama Abu Dis, bukan Yerusalem Timur sebagaimana diinginkan bangsa Palestina.
Kedua, luas wilayah Palestina tidak sebagaimana yang dituntut bangsa Arab, yakni wilayah dengan perbatasan sebelum perang Arab-Israel 1967. Akan tetapi lebih kecil lagi karena Israel menginginkan seluruh pemukiman Yahudi yang telah dibangunnya di Tepi Barat tetap menjadi bagian dari Israel. Selain itu diperlukannya daerah penyangga diantara dua negara yang diambil dari wilayah Palestina. Dengan skema seperti ini, Aljazeera memperkirakan hanya sekitar separo dari wilayah Tepi Barat yang akan diberikan ke Palestina.
Ketiga, kekuasaan negara Palestina, tidak seperti negara merdeka pada lazimnya. Hanya boleh memiliki polisi tanpa tentara. Wilayah darat, laut, dan udaranya, tetap dikontrol Israel. Semua pintu masuk orang dan barang dimonitor otoritas negara Zionis ini.
Keempat, para pengungsi Palestina termasuk anak-cucunya yang mengungsi ke negara lain, baik akibat perang Arab-Israel tahun 1948 maupun tahun 1967, tidak diperkenankan kembali pulang ke negaranya.
Jika Amerika dan Israel konsisten dengan rencananya masing-masing, maka dunia harus menghadapi kenyataan pahit, tertutup jalan damai untuk menyelesaikan masalah Palestina yang berawal sejak berdirinya negara Israel tahun 1948. Artinya hanya masalah waktu berkecamuknya kembali perang baru di Timur Tengah.
Pertanyaannya apakah bangsa Arab siap menghadapinya? Dalam kondisi terpecah-belah seperti saat ini tampaknya tidak. Apalagi mayoritas mereka kini sibuk dengan urusan dalam negrinya masing-masing. Lalu bagaimana kira-kira sekenario perang akan berlangsung?
Ada dua pemain kunci yang potensial untuk melawan Israel saat ini, yakni Turki dan Iran. Apakah mereka akan menghadapinya sendiri-sendiri, atau akan berkoalisi sehingga akan menggempur Israel dari Utara dan Timur? Rasanya terlalu dini untuk mengkalkulasinya, mengingat rumitnya konstalasi politik yang melingkupinya, di samping banyaknya faktor yang akan ikut menentukannya yang saat ini belum bisa diprediksi.
Di samping kondisi politik dalam negeri dua negara ini, faktor regional juga ikut menentukan, khususnya sikap Suriah dan Lebanon yang memiliki perbatasan langsung dengan Israel. Selain itu sikap Rusia sebagai pemain global yang terbukti cukup tangguh bermain di wilayah ini.
Dalam sejarah dicatat dengan tinta emas dua nama pembebas kota suci Al Quds atau Baitul Maqdis yang juga dikenal dengan nama Yerusalem, yaitu Umar bin Khattab dan Salahuddin Al Ayyubi. Mungkinkah kini akan lahir pahlawan baru pembebas Al Quds? Mari kita ikuti dan saksikan jalannya sejarah.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.
BERITA TERKAIT: