UU ini bernama Burma Citizenship Law (UU Kewarganegaraan Birma) 1982. Karena bentuknya UU yang mengatur kebangsaan, civic, dipastikan UU ini merupakan
rundown dari undang-undang dasar (konstitusi). UU ini membuang Rohingya, penduduk asli Rakhien (Arakan). UU ini tidak memasukkan warga Arakan yang merupakan pribumi beragama Islam, sebagai warga negara. Ini awal dari konflik terkini Rohingya, yang nyaris mustahil diselesaikan internasional, ke depan.
Tentu ada alasan luar biasa dari junta militer berkuasa masa itu yang menerapkan DOM (Daerah Operasi Militer), sebagaimana DOM Aceh di zaman Orba di Indonesia.
Tak ada jalan lain bagi Rohingya, kecuali melawan. Berdamai tak bisa, karena hak hukum telah dicabut oleh Burma Citizenship Law seluruhnya. Artinya, dengan dikeluarkannya Rohingya sebagai warga negara, maka rakyat Rohingya tak memiliki hak hukum apapun, sekaligus tak memiliki hak konstitusional. Mereka tak memiliki perlindungan segala hak hukum dari negara dan pemerintah. Bahkan dari
living law (hukum adat dan agama). Tanpa identitas negara atau stateless, mereka lebih rendah daripada hewan (yang masih memiliki pemilik). Sadis!
Dalam ilmu negara dan ilmu hukum tata negara, negara hanya wajib melindungi warga negaranya. Sedang warga asing dilindungi berdasarkan protokol diplomatik dan protokol PBB.
Stateless tak boleh ada, itu pelanggaran hukum internasional. Karenanya, upaya dunia internasional dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat, serangan militer kepada sipil tak bersenjata di Rakhien, Miyanmar, terasa seperti dramaturgi yang
ending-nya
waiting for godot juga.
RRC Kunci Panas RohingyaReaksi Internasional saat ini, menurut hukum, sebatas untuk menghentikan kejahatan pelanggaran HAM berat, pembunuhan oleh militer terhadap sipil tak bersenjata, tanpa kecuali, anak-anak dan perempuan, dimusnahkan. Itu menunjukkan operasi DOM
ethnic cleansing, kejahatan tertinggi genocida, seperti hollocaust oleh gereja abad 17 dan hollocaust oleh Fuhrer setelah Perang Dunia I. Itu satu.
Kedua, bantuan kemanusiaan, yang sangat tidak memadai dibandingkan konflik Bosnia, di mana interferrensi PBB digunakan. Presiden Soeharto sempat menggunakan hak interferensi (hak ikut campur) untuk masuk ke daerah konflik Bosnia.
Kini juga, yang dibutuhkan oleh Rohingya adalah hak interferensi itu, yang hanya dimiliki PBB. Tapi di PBB izin penggunaan hak interferensi terganjal oleh Hak Veto RRC yang dimiliki 5 Dewan Keamanan Pemenang Perang Dunia I. Yaitu: (i) Amerika Serikat, (ii) Inggris, (iii) Perancis, (iv) Rusia, dan (v) RRC.
Kesepakatan Dewan Keamanan batal jika salah satu dari 5 Dewan Keamanan itu menerbitkan Veto (menolak). Karenanya, penyelesaian Rohingya sangat tergantung RRC, yang sebelumnya telah dua kali menolak PBB masuk ke Rohingya dalam tiga bulan terakhir.
Konflk UU WNISenayan membuat UU WNI tahun 2005 yang Pansusnya diketuai Slamet Efendy Yusuf. Saya memasukkan nama Murdaya Poh sebagai wakil ketua, hasil kesepakatan dengan Mbah Tardjo dan Mas Slamet. Hasilnya, adalah UU No 12/2008 tentang warga negara. UU itu di-
rundown dari UUD 2002, hasil amandemen UUD 1945. Masalahnya Prof Sahetapi, menghapus pribumi yang pada Pasal 6 Ayat 1 UUD 1945 disebut "orang Indonesia asli".
Sahetapi mengubah pribumi menjadi warga negara. Akibatnya, warga negara dan bangsa adalah sama di UU No 12, padahal warga negara bisa siapa saja, termasuk asing. Ini paradoks terhadap Declaration of Independence (Proklamasi), dan The Bill of Rights (Preambule). Padahal pribumi atau indigenious people dilindungi HAM PBB.
Setelah itu Presiden BJ Habibie bikin Inpres No 24 tahun 1999 yang melarang kata "pribumi" dipakai. Sekalipun larangan tersebut bersifat lokal, di lingkungan pemerintah, tapi karena mengatur ruang publik, praktis seluruh kehidupan terkena, menurut hukum.
Akibat bikin UUD 2002 serampangan, China Overseas (Cina Perantauan) yang tadinya warga negara, masuk sebagai pribumi, sementara pribuminya musnah.
Itu melanggar Piagam HAM internasional mengenai
indigenious people. Perbedaan dengan Rohingya, adalah genocida, penghilangan pribumi dengan cara pembunuhan. Sedangkan di Indonesia, menggunakan politik. Tapi hasilnya sama-sama
ethnic cleansing.
Sama dengan Rohingya, kesalahan UU yang dilakukan Sahetapi dan Habibie, sulit diperbaiki. Para aktivis hukum sudah 13 tahun mencoba memperbaikinya, tapi tak berhasil. Perbaikan harus dilakukan di tingkat konstitusi, yaitu Amandemen ke V oleh MPR. Demikian pula konflik hukum Rohingya, harus mengubah UU Burma Citizenship Law dan UUD-nya. Nyaris mustahil.
Saya baca di
Sayangi.com, situs milik Bursah Zarnubi, rencana Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang akan bertemu dengan Kepala Polisi Miyanmar pekan depan. Apa yang mau dibahas? Meminta agar militer tidak menyerang Rohingya? Juga 4 agenda Menlu Retno yang ketemu dengan Menlu Miyanmar, Auyang Suu Kyi. Tapi kan aneh, meminta Suu Kyi untuk melindungi Rohingya, sebab permintaan itu paradok dengan konstitusi dan UU Miyanmar.
Minta saja agar Miyanmar dan Banglades bersedia maju ke perundingan di meja ASEAN karena masalahnya adalah masalah keluarga ASEAN untuk memberikan semacam Sharm El Sikh di kaki Bukit Sinai Selatan di bawah Perjanjian Camp David 1974. Why Not? Masalah lanjut adalah HAM Rohingya Refuges. Mereka harus dikembalikan seperti Perjanjian Balfour mengembalikan Yahudi ke Israel.
[***]Penulis adalah mantan Anggota Komisi Hukum DPR; Wakil Sekretaris Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU
BERITA TERKAIT: