"Secara substansial tidak ada keadilan dalam rancangan kesepakatan di KTM WTO Bali," kata analis politik Puspol Indonesia, Ubedilah Badrun, kepada wartawan lewat rilis tertulis, Senin (2/12).
Selain itu, sebenarnya pertemuan WTO di Bali tidaklah penting karena sebelumnya pertemuan General Council of WTO di Jenewa yang berakhir pada 26 November lalu gagal menghasilkan kesepakatan. Pertemuan General Council of WTO di Jenewa tersebut gagal menyepakati dua isu besar yakni soal fasilitasi perdagangan dan masalah pertanian.
"Memang ada hal yang disetujui dibahas tetapi hal kecil, tidak strategis bagi Indonesia dan tetap jauh menguntungkan negara negara maju terutama intervensi yang kuat pada monitoring," tegasnya.
Sebagaimana diketahui hal yang disepakati di Jenewa untuk diagendakan di Bali hanya menyangkut tentang peraturan mengenai asal barang (rules of origin), pembebasan kuota dan bea masuk (duty free and kuota free), pembebasan ekspor untuk negara-negara penghasil kapas, dan mekanisme monitoring.
Sementara, proposal negara berkembang yang dimotori India hanya dalam rencana menambah batas cadangan pangan negara dari 10 menjadi 15 persen. Dalam soal ini negara maju terlalu khawatir dan memang bersikap tidak adil karena mereka berpikir jika cadangan pangan yang terlalu banyak itu sampai bocor, maka akan mengganggu keseimbangan harga internasional.
"Sesungguhnya, forum WTO di Bali hakikatnya merugikan Indonesia dalam jangka panjang. Empat hari forum WTO di Bali harusnya menjadi sejarah untuk Indonesia berani bersikap," pungkas Ubedilah Badrun.
[ald]
BERITA TERKAIT: