Namun, menurut Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto, stabilitas tersebut belum sepenuhnya mencerminkan perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Eko menegaskan bahwa pertumbuhan 5 persen tidak otomatis berarti ekonomi yang sehat jika tidak dibarengi peningkatan daya beli, penciptaan pekerjaan yang layak, dan investasi yang benar-benar produktif.
“Stimulus yang tidak tepat sasaran hanya memberi efek sesaat,” ujarnya, dalam keterangan yang dikutip redaksi di Jakarta, Kamis 11 Desember 2025.
Di Balik Angka Stabil, Ada Sinyal Kehati-hatianEko mengungkapkan beberapa indikator yang patut dicermati. Pertama, konsumsi rumah tangga melambat. Ia menggarisbawahi pertumbuhan yang hanya 4,89-4,94 persen, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Padahal, konsumsi merupakan motor utama yang menyumbang sebagian besar aktivitas ekonomi nasional.
Kedua, deflasi berkepanjangan. Deflasi yang muncul pada Mei?"September 2024 dan berlanjut awal 2025 membuat konsumen dan pelaku usaha menahan belanja karena menunggu harga turun. Hasilnya: permintaan melemah dan ekonomi rentan spiral negatif.
Ketiga, penurunan investasi asing langsung (FDI). FDI merosot 8,87 persen pada kuartal III 2025, mencerminkan keraguan investor terhadap arah kebijakan, kepastian regulasi, perpajakan, hingga kesiapan infrastruktur.
Ada Kemajuan, Tapi Tantangan Struktural Menumpuk
Meski kritis, Eko mengapresiasi pencapaian tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, terutama keberhasilan menjaga inflasi tetap rendah di sekitar 2,86 persen. Stabilitas harga dinilai menjadi fondasi penting bagi pertumbuhan jangka menengah.
Namun, tantangan terbesar tetap pada daya beli masyarakat, yang memegang peran 50-60 persen dalam pertumbuhan ekonomi.
“Pemerintah perlu memperkuat pendapatan masyarakat, menjaga harga pangan tetap stabil, dan memperluas program yang langsung menyentuh daya beli,” kata Eko.
Ia juga menyoroti pentingnya penguatan sektor pertanian dan UMKM, termasuk profesionalisasi koperasi desa agar mampu menciptakan pertumbuhan yang lebih inklusif.
Sementara itu, pertumbuhan kredit perbankan yang baru sekitar 8 persen dinilai belum mampu mendukung target pertumbuhan 5,4 persen di 2026. “Kredit harus dipercepat ke kisaran 12-15 persen,” ujarnya.
INDEF merekomendasikan tujuh prioritas kebijakan untuk mencapai target pertumbuhan 5,4 persen 2026, di antaranya adalah fokus pada peningkatan daya beli riil, akselerasi kredit perbankan, penciptaan lapangan kerja yang cukup, belanja pemerintah yang produktif, hilirisasi mineral yang berkelanjutan, penyederhanaan regulasi, serta optimalisasi program UMKM dan pertanian.
Eko mengingatkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama lebih dari satu dekade stagnan di kisaran 5 persen menandakan perlunya peremajaan fundamental arah pembangunan nasional.
"Tantangan terbesar bukan hanya angka pertumbuhan, melainkan memastikan bahwa pertumbuhan tersebut menghasilkan keadilan sosial-ekonomi yang merata," tegasnya.
Dengan strategi yang tepat dan eksekusi konsisten, Eko optimistis Indonesia dapat keluar dari "jebakan pertumbuhan 5 persen" menuju pertumbuhan yang lebih inklusif dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
BERITA TERKAIT: