Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menekankan bahwa tambahan likuiditas bagi Himbara seharusnya menjadi momentum memperkuat transisi energi.
“Likuiditas tambahan bagi bank Himbara bukan sekedar mendorong pertumbuhan kredit, tapi juga targeted, tepat sasaran ke sektor yang membuka lapangan kerja," jelas Bhima dalam keterangannya i Jakarta, Senin, 15 September 2025.
"Nah, sektor energi terbarukan itu punya andil mendorong 19,4 juta green jobs dalam 10 tahun ke depan. Tapi selama ini bank Himbara kurang dari 1 persen porsi penyaluran kredit ke sektor energi terbarukan. Peralihan dana kas pemerintah dari BI ke Himbara jadi momentum transisi ke motor ekonomi yang prospektif,” sambungnya.
Pandangan serupa disampaikan Policy Strategist CERAH, Dwi Wulan. Menurutnya, dengan potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.687 gigawatt (GW), pemanfaatannya yang baru sekitar 13 GW atau kurang dari 1 persen masih sangat minim.
“Dengan memperkuat porsi pendanaan untuk energi bersih, pembangunan ekonomi melalui industrialisasi bisa didukung secara stabil dan berbiaya kompetitif, sehingga Indonesia bukan hanya menjaga stabilitas fiskal, tapi juga membangun ketahanan energi dan mempertegas komitmen iklim nasional,” ujar Dwi.
Ia memproyeksikan, kebutuhan listrik nasional akan melonjak 50–60 GW pada 2040 untuk menopang hilirisasi nikel, tembaga, dan bauksit. Jika masih bergantung pada energi fosil, risiko stranded asset sangat besar.
Karena itu, Dwi mendorong pemerintah dan Himbara segera mengadopsi kerangka ESG (Environmental, Social, Governance) dalam penyaluran dana.
“Prinsip ini memastikan arus pembiayaan tidak menyuburkan sektor fosil, melainkan mendorong transformasi menuju ekonomi hijau yang lebih resilien, inklusif, dan berkeadilan. Dengan memperkuat instrumen ESG, Indonesia dapat menunjukkan kepemimpinan dalam mengarahkan kebijakan fiskal dan moneter yang selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan,” tegasnya.
Juru Kampanye Energi Trend Asia, Novita Indri turut mengatakan sudah seharusnya tidak ada lagi ruang pendanaan bagi proyek energi fosil seperti batu bara.
“Sudah seharusnya tidak ada lagi celah pendanaan ke sektor energi fosil seperti batu bara ataupun turunannya. Hal ini hanya akan menggagalkan upaya Indonesia untuk mencapai Perjanjian Paris, memperparah dampak krisis iklim di Indonesia, dan mencoreng komitmen Presiden Prabowo di mata dunia,” kata Novita.
Catatan buruk perbankan nasional terhadap energi fosil sebelumnya juga terungkap dalam laporan #BersihkanBankmu bertajuk “Mendanai Krisis Iklim: Bagaimana Perbankan di Indonesia Mendukung Pembiayaan Batu Bara.”
Dalam laporan itu, lima bank domestik Indonesia termasuk Mandiri, BRI, dan BNI disebut mengucurkan pinjaman hingga 5,6 miliar Dolar AS pada 2021–2024 ke perusahaan batu bara terbesar di Indonesia. Bank Mandiri bahkan tercatat paling agresif dengan nilai pinjaman 3,2 miliar Dolar AS.
BERITA TERKAIT: