Keluhan tersebut disampaikan PT Mayer Indah Indonesia melalui kanal Debottlenecking Satuan Tugas Percepatan Program Strategis Pemerintah (Satgas P2SP), yang langsung disidangkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Selasa, 23 Desember 2025.
General Manager (GM) PT Mayer Indah Indonesia, Melisa Suria, mengungkapkan produsen kain bordir dan kebaya yang berdiri sejak 1973 itu ditolak lebih dari 20 bank saat mengajukan kredit modal kerja Rp4 miliar, meski Purbaya telah menggelontorkan dana Rp200 triliun ke perbankan.
"Sejak awal September sampai sekarang sudah lebih dari 20 bank saya datangin. Termasuk bank Himbara yang di pak menteri bilang kan salurkan dananya. Semua bilang, semua menolak intinya karena industri tekstil itu di lampu oren atau lampu merah," katanya dalam sidang tersebut.
Menurut Melisa, lima tahun terakhir perusahaannya mengalami masa sulit terutama sejak pandemi Covid-19 melanda yang membuat keuangan perushaaan terkuras.
"Lima tahun belakangan ini terutama karena Covid, tabungan kami habis," ujar Melisa.
Selain itu, perusahaannya juga memiliki utang BPJS Ketenagakerjaan Rp950 juta selama menunggak sejak awal tahun, dan dikenakan denda 2 persen per bulan.
"Tunggakannya hampir Rp1 miliar, Rp950 jutaan sampai sekarang. Mohon jangan dikenakan denda karena denda terus berjalan," tuturnya kepada Purbaya.
Ia menjelaskan, pandemi membuat omzet perusahaan anjlok hingga 50 persen akibat pembatasan aktivitas masyarakat, termasuk hajatan dan pesta. Sementara harapan untuk bangkit setelah pandemi pun musnah setelah derasnya barang impor dan melemahnya industri konveksi dalam negeri.
“Banyak pelanggan lama Mayer Indah Indonesia, khususnya konveksi di kawasan Tanah Abang, terpaksa menghentikan produksi dan memulangkan para penjahit ke kampung halaman karena tidak sanggup bersaing dari sisi harga,” jelasnya.
Melisa mengungkapkan, perusahaannya bahkan juga mendapat penolakan dari bank rekanan yang telah bekerja sama lebih dari 15 tahun. Hal tersebut terjadi karena perbankan menilai industri tekstil sudah terlalu “bleeding” sehingga dianggap tidak layak dibiayai.
Padahal, kata Melisa sekitar 80 persen penjualan Mayer Indah Indonesia masih berasal dari pasar domestik dan 20 persen dari ekspor. Meski demikian, kinerja ekspor ikut tertekan oleh konflik global yang mendorong lonjakan biaya kontainer.
Namun, menjelang Lebaran, tanda-tanda pemulihan dinilai mulai muncul. Konveksi yang sempat berhenti produksi mulai memanggil kembali para penjahit karena banyaknya pesanan. Terkait keterbatasan modal, lanjut Melisa membuat pabrik tak mampu memenuhi permintaan tersebut.
"Kami cuma bisa beli benang 30 persen atau 40 persen dari total order. Jadi ini adalah suatu masalah, karena cepat atau lambat kami mesti udahan kalau seperti ini terus keadaannya," pungkas Melisa.
BERITA TERKAIT: